Oleh: Join Kristian Zendrato
Sadar atau tidak dan suka atau tidak, kita uscue et uscue hidup di bawah bayang-bayang maut. Apalagi saat ini dengan adanya wabah virus Corona, setiap hari kita bisa membaca berapa korban-korban meninggal terbaru dari madia-media sosial. Begitu dekatnya kita dengan kematian.
Dalam kondisi seperti ini, saya tak mengatakan bahwa kita harus membiarkan diri kita mati. Kita tentunya harus melakukan yang terbaik supaya bisa tetap hidup, dengan makan makanan sehat, olahraga, mematuhi protokol kesehatan dari pemerintah, dan sebagainya.
Tetapi bagaimanapun itu, kita tetap terbuka bagi kematian, entah Anda kaya, miskin, bersahaja, berkedudukan, tua, muda, dan sebagainya. "Memento mori." Kematian datang kapan saja tanpa izin, dan dengan cara yang berbeda-beda bagi tiap manusia.
Hal ini seharusnya menuntun kita untuk berpikir tentang kehidupan setelah kematian - kekekalan. Berpikir tentang kekekalan surga dan neraka sering kali dicemooh. Tetapi bagi saya yang fana dan akan mati suatu saat, memikirkan kekekalan merupakan hal yang sangat penting. Penting karena itu diajarkan oleh Yesus dan Kitab Suci dan karena itu benar.
Lagipula, manusia berbeda dengan binatang dan tumbuhan. Manusia dan tumbuhan tidak ada lagi setelah ia mati. Kematian adalah akhir eksistensi dari binatang maupun tumbuhan. Berbeda dengan itu, manusia diciptakan oleh Tuhan sedemikian rupa dengan menanamkan kekekalan dalam hati manusia (Pengkhotbah 3:11), sehingga bahkan setelah kematian, manusia tetap eksis walaupun dalam cara eksistensi yang berbeda dengan cara eksistensi saat ini.
Perlu juga dicatat bahwa kepercayaan terhadap kehidupan setelah kematian mempengaruhi etika hidup kita sekarang di bumi ini. Paulus menganggap bahwa tanpa kehidupan setelah kematian maka seluruh tatanan moral akan hancur berantakkan dan kita bisa berbuat apa saja (lihat 1 Kor. 15:32).
Memikirkan hidup yang kekal yang mulia juga merupakan penghiburan bagi orang percaya yang menderita dalam dunia ini. Setelah mengikut Kristus, Paulus tidak terlepas dari penderitaan, justru sebaliknya penderitaannya semakin banyak. Dia menulis tentang penderitaannya sebagai berikut: "Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami. Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini" (2 Korintus 4:8-11). Dan lagi, "Apakah mereka pelayan Kristus? — aku berkata seperti orang gila — aku lebih lagi! Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian, dan, dengan tidak menyebut banyak hal lain lagi, urusanku sehari-hari, yaitu untuk memelihara semua jemaat-jemaat. Jika ada orang merasa lemah, tidakkah aku turut merasa lemah? Jika ada orang tersandung, tidakkah hatiku hancur oleh dukacita? Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegah atas kelemahanku. Allah, yaitu Bapa dari Yesus, Tuhan kita, yang terpuji sampai selama-lamanya, tahu, bahwa aku tidak berdusta. Di Damsyik wali negeri raja Aretas menyuruh mengawal kota orang-orang Damsyik untuk menangkap aku. Tetapi dalam sebuah keranjang aku diturunkan dari sebuah tingkap ke luar tembok kota dan dengan demikian aku terluput dari tangannya" (2 Korintus 11:23-33). Dan lagi, "Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku" (2 Korintus 12:7-9).
Lalu apa penghiburan bagi Paulus dalam penderitaannya yang luar biasa banyak itu? Salah satunya adalah pemikirannya tentang kehidupan setelah kematian - kekekalan. Paulus mengekspresikan ini dalam kata-katanya berikut ini: "Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita" (Roma 8:18). Selanjutnya dalam suratnya kepada jemaat Korintus ia menulis hal serupa, "Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami" (2 Korintus 4:16-17).
C. S. Lewis menangkap hal ini dengan sangat baik ketika ia menulis sebagai berikut:
“Buku mengenai penderitaan yang tidak mengatakan apa pun tentang sorga adalah sebuah kekurangan yang hampir menghilangkan sisi penting dari tulisan tersebut."
Lewis melanjutkan:
“Kitab suci dan tradisi iman terbiasa menempatkan sukacita sorgawi ke dalam skala yang bertentangan dengan penderitaan di bumi, dan tidak ada solusi atas masalah rasa sakit yang tidak terkait dengan sukacita sorgawi, yang bisa disebut sebagai solusi Kristiani. Kita sangat malu menyebutkan sorga di zaman sekarang. Kita takut dengan ejekan tentang sorga sebagai imajinasi ‘kue di langit’… tetapi kemungkinannya memang hanya dua; apakah sorga itu memang ada atau tidak sama sekali. Jika sorga tidak ada, maka kekristenan salah, karena doktrin tersebut ditenun ke dalam seluruh kepercayaan Kristen. Jika sorga ada, maka kebenaran ini, seperti halnya kebenaran lain, harus dihadapi…" [C. S. Lewis, The Great Divorce (Signature Classics, 2012), hal. 427, dikutip oleh John Lennox, Where is God in A Coronavirus World? (Perkantas Jawa Timur, 2020), hal. 70].
Fakta bahwa ada sorga yang kekal, tidak membuat semua orang yang memikirkan dan percaya pada kehidupan setelah kematian akan pergi ke surga. Mitos ini ditentang oleh Alkitab. Yesus dan Perjanjian Baru mengajarkan bahwa ada sisi kekekalan lain yang akan dihadapi oleh manusia di luar Kristus yaitu neraka yang kekal.
Semua orang akan menghadapi kehidupan setelah kematian - sorga dan neraka. Bagi orang-orang yang telah ditebus oleh darah Kristus akan mewarisi sorga yang mulia (Yoh. 3:16; Ro. 8:1). Bagi mereka yang lain akan mewarisi neraka untuk dihukum karena dosa-dosa mereka (Yoh. 3:36).
Ada orang-orang tertentu yang menyangkal tentang adanya neraka yang kekal dan menggantikannya dengan anihilasi. Bagaimanapun konsep ini bertentangan dengan Alkitab. Demikian juga pandangan yang mengatakan bahwa memang ada orang-orang yang akan dihukum tetapi tujuan penghukuman itu adalah memurnikan dan sementara. Ini juga bertentangan dengan Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa tidak ada pembebasan atau pemurnian apapun dalam neraka. Penghukuman dalam neraka itu kekal selama-lamanya. John Owen mengatakan, "Tak ada penyucian di sorga atau neraka, karena di sorga tak ada dosa dan di neraka tak ada amandemen" [John Owen, Works, vol. XXIV, hlm. 260, dikutip oleh Sinclair B. Ferguson, Children of the Living God - Anak-anak Allah yang Hidup (Surabaya: Momentum, 2003), hal. 129-130].
Jadi hanya, dan hanya bagi orang-orang yang menaruh kepercayaannya kepada Yesus sebagai satu-satunya Juruselamat akan mendapati bahwa pemikiran tentang kekekalan membawa sukacita dalam penderitaan, dan dalam menghadapi kematian. Sukacita kekekalan itu dilukiskan dalam Kitab Wahyu:
“Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi… Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka. Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.” (Why. 21:1, 3b-4).
Saya menulis ini bukan dalam rangka meninabobokan kita dengan sorga dan tidak mempedulikan kehidupan saat ini. Saya tetap mendorong kehidupan yang produktif selama kita hidup, tetapi dengan satu pemikiran bahwa pada akhirnya kita harus siap menghadapi realitas kehidupan setelah kematian.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip kata-kata dari Profesor John C. Lennox dalam buku terbarunya Where is God in A Coronavirus World? Profesor Lennox berbicara mengenai orang-orang Kristen pada abad-abad awal Kekristenan yang kehidupan mereka sangat dekat dengan kematian. Ia berkata:
"Orang Kristen mula-mula, hidup dalam situasi dunia yang berbahaya yang mana mereka semua dikelilingi oleh berbagai bentuk ancaman dan angka harapan hidup yang sangat pendek. Namun mereka diberi kekuatan untuk menjalani hidup penuh pengorbanan, seperti yang memang mereka tampilkan, serta berkontribusi bagi kesejahteraan hidup orang lain. Semua itu didasarkan pada fakta bahwa mereka memiliki pengharapan yang hidup dan nyata, yang melampaui kematian" [John C. Lennox, Where is God in A Coronavirus World? (Perkantas Jawa Timur, 2020), hal. 69-70].