Oleh: Join Kristian Zendrato
Tancredo de Almeida Neves adalah presiden Brazil ke-34. Neves mencalonkan diri sebagai presiden Brazil pada 1984. Pada masa kampanye, Neves mengatakan, "Bila mendapat 500 ribu suara dari partai saya sendiri maka takkan ada yang bisa mendepak saya dari kursi kepresidenan bahkan Tuhan sendiri."
Neves memang terpilih menjadi presiden Brazil pada 15 Januari 1985, naasnya, Neves jatuh sakit parah pada malam pelantikannya, dan akhirnya meninggal beberapa minggu kemudian.
Kisah Neves mengingatkan saya akan kata-kata dalam Alkitab, "Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya" (Amsal 16:9). "Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana" (Amsal 19:21).
Allah seakan-akan berteriak kepada saya, "Kehendak-Ku lah yang akan terjadi bukan kehendak manusia."
Terkadang kita terlalu percaya diri menjalani hidup - saya juga sering begitu, dan menganggap bahwa apa yang kita rencanakan dan pikirkan pasti akan terealisasi dan benar. Kita lupa bahwa ada Allah Tritunggal yang mahatahu dan yang kehendak-Nyalah yang akan terjadi.
Kita sering merencanakan untuk melakukan sesuatu dan berpikir secara pasti bahwa itu akan terjadi tanpa mengakui bahwa hanya kuasa Allahlah yang memampukan kita untuk bertindak ini dan itu. Kita lupa bahwa di bawah matahari rencana-rencana kita bisa gagal karena berbagai macam faktor termasuk kematian. Yakobus mencatat: "Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: 'Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung', sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap" (Yakobus 4:13-14).
Yakobus sepertinya mau mengatakan kepada kita agar kita jangan terlalu percaya diri kala kita merencanakan sesuatu, sebab rencana-rencana kita bisa gagal. Dalam ayat selanjutnya, bertentangan dengan kepercayaan pada diri sendiri, Yakobus mengajak kita memperhatikan apa yang seharusnya kita lakukan kala kita merencanakan sesuatu: "Sebenarnya kamu harus berkata: "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu" (Yakobus 4:15).
Prinsip yang ingin Yakobus tanamkan dalam pikiran kita adalah tetaplah bergantung pada kehendak Allah. Jika kita merencanakan sesuatu kita tetap harus berkata: "Jika Tuhan menghendaki." Sebab kehendak Tuhan adalah "rahim dari segala sesuatu" (Herman Bavinck).
Itulah sebabnya ketika Paulus meninggalkan Efesus, ia berpesan kepada orang-orang yang ingin menahannya di sana, "'Aku akan kembali kepada kamu, jika Allah menghendakinya.' Lalu bertolaklah ia dari Efesus" (Kisah Para Rasul 18:21).
Sikap seperti inilah yang seharusnya ada dalam diri setiap orang percaya. Dalam melakukan apapun, entah berpergian, menjalankan bisnis, bersekolah, dsb, kita tetap harus percaya kepada Tuhan bukan kepada diri sendiri dan berkata dengan iman, "jika Allah menghendaki, aku akan melakukan ini atau itu."
Inilah sikap yang rendah hati dan sadar bahwa kita tidak mengetahui misteri hari esok. "Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu" (Amsal 27:1).
Keadaan kita saat ini bukan keseluruhan cerita kita. Ini masih sepotong cerita yang esoknya bisa berubah total. Jika hari ini masih bernafas, siapa yang menjamin bahwa besok kita masih bernafas? Jika hari ini kita baik-baik saja, siapa yang bisa menjamin bahwa besok pun kita akan tetap baik-baik? Hidup dan mati adalah di tangan Tuhan.
John Piper dalam buku terbarunya Corona Virus and Christ (Perkantas Jawa Timur, 2020) menulis sebuah paragraf yang berkaitan dengan masalah ini. Ia menyatakan:
"Orang-orang sering bertanya sebelum saya didiagnosis mengidap kanker, “Bagaimana kesehatan Anda?” Dan, saya akan menjawab, “Baik-baik saja.” Sekarang saya tidak menjawab seperti itu lagi. Sebaliknya, saya berkata, “Saya merasa baik-baik saja.” Ada perbedaan antara jawaban-jawaban ini. Pada hari sebelum saya mengikuti pemeriksaan kesehatan tahunan itu, saya merasa baik-baik saja. Pada keesokan harinya, saya diberitahu bahwa saya mengidap
kanker. Dengan kata lain, saya tidak baik-baik saja. Maka, ketika saya menulis kata-kata ini, saya sesungguhnya tidak tahu apakah saya baik-baik saja. Saya merasa baik-baik saja; jauh
melebihi yang layak saya dapatkan, sebab, yang saya tahu, saya sekarang mengidap kanker, atau penggumpalan darah, atau mungkin virus corona. Apa maksudnya? Maksudnya adalah ini: alasan terutama kita seharusnya tidak berkata, “Saya baik-baik saja” adalah bahwa hanya Allah yang mengetahui dan memutuskan apakah Anda baik-baik saja—sekarang. Mengatakan “Saya baik-baik saja” padahal Anda tidak tahu apakah Anda baik-baik saja, dan Anda tidak dapat mengendalikan keadaan Anda, sama dengan mengatakan, “Besok saya akan pergi ke kota Chicago dan berbisnis di sana” padahal Anda tidak tahu apakah Anda masih hidup esok hari, apalagi melakukan bisnis di Chicago." (Piper, Coronavirus and Christ, hal. 14-15).
Piper menulis dengan tepat. Kita memang tidak tahu keadaan kita dengan pasti sekarang, entah baik atau tidak. Jika kita merasa baik sekarang, maka itu hanya penglihatan kita semata karena kita tidak mahatahu. Yang tahu seluruh keadaan kita hanyalah Allah.
Semua ini mengajarkan kita bahwa kita tidak bisa bersandar pada diri dan kekuatan kita sendiri. Rencana-rencana kita hanya bisa terlaksana jika Allah menghendakinya. Kita, saat ini tidak mengetahui seluruh kehidupan kita. Kita hanya mengetahui sepotong cerita kita, sedangkan Allah mengetahui semuanya.
Untuk itu buanglah kesombongan. Keadaan-keadaan kita bisa berubah. Rencana-rencana kita bisa gagal. Satu-satunya harapan yang bisa dipercaya adalah Allah Tritunggal, bukan diri kita sendiri. Kita harus seperti Yesus saat berdoa di Getsemani, "Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki" (Matius 26:39).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar