Senin, 07 Februari 2022

DAMAI SEJAHTERA YANG SALAH

Oleh: Join Kristian Zendrato

Kita hidup di tengah-tengah dunia di mana materialisme menjamur. Standar kebanyakan orang-orang adalah tampilan luar. Jika keadaan luar terlihat mewah, indah, dan enak dipandang, maka itulah sejahtera yang sejati. Generasi kita yang sangat materialistis telah melupakan slogan lama: "Don't judge a book by its cover."

Spirit materialistis ini juga telah mempengaruhi jiwa orang percaya. Terkadang kita menganggap bahwa orang-orang Kristen yang tak pernah menderitalah yang merupakan anak-anak Allah yang sejati. Kita menganggap bahwa suasana "damai sejahtera"lah yang akan terus dialami oleh anak-anak Allah. 

Konsep ini membuat kita bisa mengarah pada kesalahan dengan menganggap bahwa orang yang percaya Yesus namun hidup susah dan tak mempunyai damai sejahtera secara lahiriah sedang tidak diperkenan Allah. 

Tetapi apakah perkenan Allah hanya dibuktikan dengan mengalami damai sejahtera secara lahiriah (entah itu uang, kedudukan, dsb)? Saya rasa tidak!

Kadang-kadang bahkan kita terjatuh dalam apa yang saya sebut sebagai "damai sejahtera yang salah." Dan tragisnya, damai sejahtera yang salah itu tetap kita anggap sebagai bukti perkenan Allah, atau bukti bahwa kita sedang berjalan dalam kehendak Allah.

Contoh klasik mengenai hal ini adalah Yunus. Dipanggil untuk pergi ke kota Niniwe untuk menyerukan pesan Tuhan (Yunus 1:1-2), Yunus malah melawan Tuhan dengan berencana pergi ke tempat lain - ke Tarsis. Dikatakan bahwa ia "jauh dari hadapan Tuhan" (Yunus 1:3).

Akhirnya, TUHAN menurunkan angin ribut ke laut yang menyebabkan badai untuk menyerang kapal Yunus (Yunus 1:4). Dalam ayat ini, kita melihat bahwa angin dan badai merupakan ketetapan Allah. Itu tidak terjadi karna kebetulan. Kebetulan bukan apa-apa, ia tak dapat berbuat apa pun.

Dalam keadaan yang mengerikan itu, apakah Anda ingat apa yang terjadi dengan Yunus? Mungkin sekali Anda akan menjawab bahwa Yunus akhirnya dibuang ke laut dan ditelan oleh ikan dan berada di sana selama 3 hari 3 malam dan akhirnya Tuhan membebaskannya. Ini memang benar, karna inilah yang sering kita dengar di Sekolah Minggu. 

Tetapi ada satu hal yang luput dari pandangan kita sebelum kejadian itu terjadi. Dalam pasal 1 ayat 5 dinyatakan bahwa, "Awak kapal menjadi takut, masing-masing berteriak-teriak kepada allahnya, dan mereka membuang ke dalam laut segala muatan kapal itu untuk meringankannya." Ini merupakan respon yang lumrah atas kedatangan angin dan badai yang menghantam kapal mereka. Tetapi itu sepertinya tak berlaku bagi Yunus, sebab kalimat terakhir dari ayat 5 itu berbunyi, "Tetapi Yunus telah turun ke dalam ruang kapal yang paling bawah dan berbaring di situ, lalu tertidur dengan nyenyak."

Ya, Yunus tertidur dengan nyenyak pada saat ada badai, pada saat ada angin ribut dan yang lebih penting adalah pada saat dia sedang "jauh dari hadapan Tuhan." Yunus memperoleh "damai sejahtera" saat dia melawan Tuhan. Itulah damai sejahtera yang salah.

Anda dan saya juga bisa merasakan "damai sejahtera yang salah" seperti itu. Anda bisa kaya raya walau sedang melawan Tuhan. Anda bisa makan enak walau sedang melawan Tuhan. Anda bisa tidur nyenyak walau sedang melawan Tuhan. Anda bisa menikmati "damai sejahtera" walau sedang melawan Tuhan. 

Dari sini kita melihat bahwa damai sejahtera itu tak selalu merupakan bukti perkenan Allah bagi kita. Itu bisa saja adalah damai sejahtera yang salah.

Jadi, ketika kita melihat orang percaya yang kesusahan, menderita, dan tampaknya tak ada damai sejahtera dalam hidupnya secara lahiriah, maka jangan terlalu cepat menganggap hal itu sebagai bukti bahwa Allah tak berkenan kepadanya. 

Juga, jika ada orang yang secara lahiriah mengalami damai sejahtera, maka jangan terlalu cepat mengatakan bahwa itu adalah bukti perkenan Allah. Itu mungkin hanya damai sejahtera yang salah. 

Allah kadang-kadang sering mengizinkan anak-anak-Nya yang diperkenan-Nya berada dalam kesusahan. Dan sebaliknya, damai sejahtera tak selalu menjadi tanda perkenan Tuhan. Yunus bisa merasakan "damai sejahtera" pada saat melawan Tuhan. Dan Ayub diizinkan untuk menderita oleh Allah, bahkan ketika ia disebut "saleh" oleh Allah (Ayub 1).

KEDAULATAN ALLAH DAN KEBERHASILAN PENGINJILAN

Oleh: Join Kristian Zendrato

James I. Packer yang merupakan Profesor Teologi dari Regent College, Vancouver pernah menulis sebuah buku kecil berjudul Evangelism and the Sovereignty of God. Dalam buku itu, Packer membahas banyak hal mengenai hubungan kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia, khususnya penginjilan.

Saya sangat diberkati melalui buku ini, khususnya ketika Packer mengatakan bahwa “Kedaulatan Allah dalam anugerah memberikan satu-satunya pengharapan atas keberhasilan dalam penginjilan” [James I. Packer, Penginjilan dan Kedaulatan Allah (Surabaya: Momentum, 2014), hal. 92].

Packer mengamati bahwa problem terbesar manusia dalam relasinya dengan Allah adalah Dosa. Dosa membuat manusia tidak mampu untuk menangkap kebenaran rohani. Mata manusia tertutup dari kebenaran Injil. Itulah sebabnya, Paulus dalam 1 Kor. 2:14 mengatakan bahwa, “Manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani.” Inilah gambaran natur manusia menurut Alkitab. Manusia betul-betul telah “mati karena pelanggarannya” (Ef. 2:1), dan efek dari keadaan ini adalah ketidakmampuan manusia untuk menangkap, tunduk, dan percaya pada kebenaran Injil.

Packer juga mengamati bahwa hal lain yang juga ikut mempengaruhi kebutaan manusia berdosa adalah pekerjaan Iblis yang selalu aktif mencegah orang-orang berdosa untuk dapat melihat cahaya Injil (bdk. Ef. 2:2; 2Kor. 4:4).

Jadi, dengan natur manusia yang sudah begitu rusak, ditambah pekerjaan Iblis yang terus menerus menghalangi mata manusia berdosa untuk bisa melihat kebenaran Injil, maka bisa disimpulkan bahwa pekerjaan penginjilan yang hanya mengandalkan manusia sama sekali tidak akan berhasil. Kita tidak dapat mempertobatkan siapa pun dengan situasi seperti itu. Berkhotbah kepada manusia berdosa adalah sama seperti berkhotbah kepada mayat-mayat yang tidak bisa merespon. Dan itu adalah pekerjaan yang sia-sia.

Maka supaya manusia berdosa bisa menerima Injil kasih karunia, tunduk, dan percaya terhadapnya, pertama-tama manusia berdosa harus digerakkan dan dibuka hatinya lebih dahulu oleh Allah yang Mahakuasa. Itulah sebabnya, ketika Lidia mendengarkan khotbah Paulus, Lukas menulis: “Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus” (Kis. 16:14). Tanpa tindakan Allah yang menghidupkan, memanggil dan menggerakkan manusia berdosa untuk datang kepada Kristus, maka pekerjaan penginjilan adalah kesia-siaan belaka.

Ini jelas meruntuhkan semua kesombongan orang-orang Kristen yang sering berkata, “Aku mempertobatkan dia,” dan pernyataan-pernyataan serupa lainnya. Allahlah, bukan manusia yang membuat manusia berdosa mempercayai Injil. Kita hanyalah alat semata di tangan Allah Tritunggal, sementara keputusan manusia untuk mempercayai Injil kasih karunia adalah pekerjaan Tuhan (bdk. Flp. 1:29).

Disisi lain, ini adalah obat yang manjur bagi para penginjil yang setia ketika mereka melihat hasil pelayanan mereka sepertinya tidak mendatangkan petobat-petobat baru. Fakta bahwa pendengar kita, tidak mempercayai Injil kasih karunia Allah adalah bukti bahwa Allah belum (atau tidak) membuka hati mereka. Urusan kita adalah memberitakan Injil dengan setia (bdk. Gal. 1:6-9), sedangkan hasil akhir dari pemberitaan kita ada dalam tangan Allah.

Yakinlah bahwa semua manusia yang adalah domba sejati akan dipanggil oleh Allah untuk datang dan mempercayai Injil (dengan perantaraan penginjil-penginjil), sedangkan mereka yang bukan domba sejati akan tetap mengeraskan hati mereka. Yesus berkata, “tetapi kamu tidak percaya, karena kamu tidak termasuk domba-domba-Ku” (Yoh. 10:26; bdk. Rm. 8:29-30).

EXTERNAL CALLING DAN INTERNAL CALLING

Oleh: Join Kristian Zendrato

Pada saat kita memberitakan Injil, ada dua respon yang akan kita lihat dari pendengar kita. Ada yang menolak dan ada yang menerima. Pertanyaannya mengapa bisa begitu? Dalam hal ini kita perlu memperhatikan doktrin panggilan (calling). 

Panggilan terbagi menjadi dua bagian: external calling (panggilan dari luar atau eksternal) dan internal calling (panggilan dari dalam atau internal).

Secara umum, panggilan eksternal itu terjadi jika kita memberitakan Injil dan mengundang orang untuk datang kepada Yesus.

Panggilan internal itu adalah panggilan dari dalam dimana Roh Kudus bekerja dalam diri seseorang untuk menerima undangan dari panggilan eksternal tadi.

Contohnya terlihat dalam Kisah Para Rasul 16:14, "Seorang dari perempuan-perempuan itu yang bernama Lidia turut mendengarkan. Ia seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, yang beribadah kepada Allah. Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus."

Dalam ayat itu Paulus memberitakan Firman, Lidia mendengar. Itu panggilan eksternal.

Lalu dikatakan bahwa Tuhan membuka hatinya. Itulah panggilan internal. Sehingga setelah dipanggil secara internal, Lidia memperhatikan dan menerima Firman.

Saya juga mau menambahkan bahwa orang yang dipanggil secara internal hanyalah orang-orang pilihan. Jadi, orang pilihan pasti dipanggil secara eksternal dan internal. Sedangkan orang bukan pilihan mungkin saja bisa dipanggil secara eksternal tapi pasti tak akan dipanggil secara internal. 

Itulah argumen Paulus dalam ayat yang biasa disebut sebagai The Golden Chain of Salvation: Roma 8:29-30, "Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya."

Jadi mula-mula Paulus berbicara tentang pemilihan dan meneruskan bahwa orang yang telah dipilih tadi pasti akan dipanggil, dibenarkan dan akhirnya dimuliakan. 

Semua ini menunjukkan bahwa keselamatan adalah karya Allah dari awal sampai akhir (bdk. Kisah Para Rasul 13:48).

Soli Deo Gloria.

KEMAH DAN RUMAH: SEBUAH REFLEKSI TENTANG HIDUP YANG SINGKAT DAN KEHIDUPAN SETELAH KEMATIAN - SORGA DAN NERAKA

Oleh: Join Kristian Zendrato

Pikirkanlah sejenak orang-orang yang telah pergi dari dunia ini. Pikirkanlah juga tentang bayi-bayi yang lahir. Yang pertama akan membawa kita pada pikiran betapa mengerikannya kematian. Yang kedua akan membawa kita pada pikiran betapa dinamisnya hidup.

Tetapi Anda akan segera menyadari bahwa bayi yang baru lahir itu pun akan pergi suatu saat dari dunia ini (bahkan ada yang langsung pergi pada saat lahir).

Poinnya adalah hidup itu singkat dan fana. Itulah mengapa ungkapan Latin memento mori tidak boleh kita lupakan (memento mori artinya ingatlah kita pasti akan mati).

Tragisnya, kebanyakan dari kita berpikir bahwa kita akan baik-baik saja. Dan satu kali pun tak pernah berpikir tentang kefanaan hidup. Padahal Alkitab yang adalah satu-satunya Firman Allah yang tanpa salah berulang kali mengingatkan kita bahwa suatu saat kita akan kembali menjadi debu.

Menarik untuk diperhatikan bahwa tubuh kita di dunia ini sering digambarkan Alkitab sebagai "kemah." Kemah adalah tempat sementara. Dalam 2 Korintus 5:1, Paulus menulis, "Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia."

Paulus menyebutkan "kemah tempat kediaman kita dibumi." Hal ini menunjukkan pada tubuh kita. Kalau kita memperhatikan lanjutan dari penjelasan Paulus, maka dalam 2 Korintus 5:2 dan ayat 4 dijelaskan bahwa selama kita berada dalam kemah ini, kita akan mengeluh. Hal ini menunjuk pada fakta bahwa selama di dunia ini, kita akan banyak menderita.

Bukan hanya itu saja. Kembali ke ayat 1, Paulus menegaskan bahwa kemah itu suatu saat akan "dibongkar." Kemah yang dibongkar menunjuk pada kematian. Jadi, bukan hanya penderitaan yang akan kita alami selama kita mendiami kemah, tetapi juga kematian.

Sekarang kita akan bertanya, "Apakah ketika kemah itu dibongkar, maka semua akan berakhir?"

Dengan kata lain apakah hidup itu akan berakhir setelah kematian, dan dengan demikian, sebenarnya hidup ini tak berarti seperti deskripsi yang terkenal dari Macbeth dalam karya William Shakespeare, "Hidup hanyalah bayangan yang berjalan, aktor malang yang menjalani hari-harinya dipanggung lalu tak terdengar lagi. Hidup adalah dongeng yang dikisahkan oleh si tolol, penuh dengan kebisingan dan tak berarti."

Ataukah seperti yang dinyatakan oleh Bertrand Russel dalam bukunya Why I am Not a Christian, "Aku akan membusuk setelah mati, dan egoku tidak akan ada lagi."

Baik tokoh fiktif Macbath dalam karya Shakespeare dan Bertrand Russel ditentang oleh Injil Perjanjian Baru. Sesungguhnya kematian bukan akhir, akan ada kehidupan setelahnya.

Dalam perikop yang telah kita lihat sebelumnya, Paulus mengatakan bahwa meskipun kemah kita akan dibongkar dan dengan demikian kita mati, Allah yang penuh dengan anugerah telah menyediakan "rumah" yang kekal kepada kita di Sorga. Paulus menulis: "Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia" (2 Korintus 5:1).

Ya, jika kita mati, jika kemah dibongkar, jangan takut karena " Allah telah menyediakan." Apa yang Allah telah sediakan? "suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia." Dalam terjemahan New American Standar Bible (NASB) dikatakan,"a building from God, a house not made with hands, eternal in the heavens" (suatu bangunan dari Allah, suatu rumah yang tidak dibuat oleh tangan, kekal di surga).

Jadi jika kemah kita dibongkar, Allah telah menyediakan rumah kekal bagi kita. Kitab Wahyu menggambarkan suasana di sana dengan indah, "Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu" (Wahyu 21:4).

Gambaran keadaan kita di rumah yang kekal sangat kontras dengan keadaan kita dalam kemah kita yang sementara. Itulah kenapa Rasul Paulus dengan yakin berkata dalam Roma 8:18, "Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita."

Bagi saya, ini adalah penghiburan yang incomparable. Tetapi satu hal yang harus diingat bahwa semua hak istimewa ini hanya akan dinikmati oleh kaum pilihan Allah, kaum yang diregenerasikan Allah, kaum yang dipanggil Allah secara efektif, kaum yang beriman dan dibenarkan secara cuma-cuma oleh pengorbanan Yesus Kristus - Sang Pengantara kita (Yohanes 3:16; Kisah Para Rasul 4:12; Roma 8:1; 28-30).

Sedangkan bagi yang lain yang tidak mempercayai Tuhan Yesus Kristus sebagai Penebus mereka akan dibuang keluar dari "rumah" Allah di Sorga ke "rumah" api dalam neraka selama-lamanya sebagai konsekuensi ultimat dari dosa-dosa mereka. Kitab Wahyu menggambarkan suasana itu dengan berkata, "Maka asap api yang menyiksa mereka itu naik ke atas sampai selama-lamanya, dan siang malam mereka tidak henti-hentinya disiksa, yaitu mereka yang menyembah binatang serta patungnya itu, dan barangsiapa yang telah menerima tanda namanya" (Wahyu 14:11).

Satu-satunya hal yang sama antara sorga dan neraka adalah kekekalannya. Di Sorga, kita akan menikmati persekutuan dengan Allah secara kekal. Di neraka, orang-orang tak percaya akan mengalami murka Allah Tritunggal secara kekal.

Jonathan Edwards dalam khotbahnya yang sangat terkenal: Sinners in the Hands of an Angry God berkata mengenai murka Allah dalam neraka yang kekal sebagai berikut: "Murka [Allah] itu berlangsung kekal. Mengalami murka dan kegeraman Allah yang mahakuasa untuk sesaat saja sudah sangat mengerikan, sedangkan Anda harus mengalaminya sepanjang kekekalan. Takkan ada perhentian bagi penderitaan yang luar biasa mengerikan ini. Saat memandang ke depan, Anda akan melihat kekekalan, suatu masa tiada akhir yang ada di hadapan Anda, yang akan menghapus seluruh pemikiran Anda, hingga Anda benar-benar berhenti mengharapkan datangnya pelepasan, perhentian, pengurangan siksaan, dan kedamaian. Anda akan segera tahu bahwa Anda harus menjalani masa-masa yang panjang, berjuta-juta abad, untuk bergumul dan berjuang melawan pembalasan mahadahsyat yang tak mengenal belas kasihan ini. Lalu, setelah menjalaninya, setelah selama berabad-abad melaluinya, Anda akan mendapati semua keadaan itu masih terus berlangsung. Demikianlah, sesungguhnya hukuman Anda akan berlangsung selamanya. Oh, siapakah yang dapat membayangkan keadaan orang yang berada dalam situasi seperti itu! Semua yang dapat kita katakan tentang hal ini, hanya mampu memberikan gambaran, yang sangat lemah dan kabur mengenainya; hal itu sungguh tak terkatakan dan tak terbayangkan, karena 'siapakah yang mengenal kekuatan murka [Allah]?" (dikutip dari Jonathan Edwards, Sinners in the Hands of an Angry God [Surabaya: Momentum, 2010], hal. 43-44).

Itulah deskripsi dari nasib orang-orang tak percaya. Sangat mengerikan!

Sekarang kita kembali kepada masalah awal yang telah saya bicarakan sebelumnya. Hidup itu singkat. Kemah kita akan "dibongkar" suatu saat. Dan kematian bukan akhir dari segalanya seperti klaim Bertrand Russel. Kematian bagi orang percaya merupakan gerbang kepada "rumah" yang kekal di sorga. Heaven is our home. Itulah rumah orang-orang beriman kepada Kristus.

Kematian juga bukan akhir eksistensi dari orang-orang tak percaya kepada Kristus. Tetapi berbeda dengan orang-orang pilihan, kematian bagi orang-orang tak percaya merupakan gerbang menuju "rumah" api yang kekal dalam neraka.

Ditulis oleh: Join Kristian Zendrato

APAKAH TUHAN INGIN SEMUA ORANG DISELAMATKAN? SEBUAH JAWABAN "TIDAK" DARI SAYA!

Oleh: Join Kristian Zendrato

Klaim bahwa Tuhan ingin menyelamatkan semua manusia merupakan klaim popular dalam kekristenan. Tetapi kepopularan tak bisa membuat sebuah klaim menjadi benar. 

Secara pribadi saya tak setuju bahwa klaim di atas benar adanya. Banyak hal yang bisa dijadikan sebagai argumen penolakan terhadap klaim tersebut, tetapi saya akan fokus pada satu argumen saja yakni pemberitaan Injil. 

Saya yakin bahwa pemberitaan Injil akan meruntuhkan klaim popular bahwa Allah ingin semua orang selamat.

Begini. Dalam Kekristenan, salah satu doktrin mendasar adalah sola fide. Sola fide merupakan istilah latin yang artinya faith alone (hanya iman). Maksudnya adalah kita diselamatkan hanya melalui iman kepada Yesus Kristus yang mati dan bangkit (Efesus 2:8-9).

Iman merupakan sebuah sine qua non untuk keselamatan. Iman itu sendiri merupakan pemberian Allah (Efesus 2:8-9; Filipi 1:29). Meskipun begitu, Allah mengaruniakan iman melalui pemberitaan Firman Tuhan. "Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus (Roma 10:17)."

Jadi untuk diselamatkan, seseorang harus beriman kepada Kristus. Supaya seseorang bisa beriman, ia harus mendengar Firman. Lalu bagaimana seseorang bisa mendengar Firman? Jelas salah satunya melalui pemberitaan Firman. 

Paulus menulis tentang hal ini sebagai berikut: "Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus? Seperti ada tertulis: 'Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!'" (Roma 10:14-15).

Jadi, sekali lagi saya tegaskan bahwa iman merupakan syarat mutlak untuk keselamatan, dan iman itu sendiri merupakan karunia Allah yang diberikan-Nya dengan sarana pemberitaan Firman. 

Nah, sekarang saya akan memberikan argumen penolakan terhadap klaim bahwa Allah ingin semua orang selamat.

Jika Allah menginginkan semua orang untuk selamat, mengapa Injil tidak didengarkan oleh banyak orang sampai mati? Bukankah supaya selamat mereka harus beriman? Dan bukankah supaya mereka beriman, mereka harus mendengarkan Injil (Roma 10:17)? 

Jika Tuhan ingin semua orang untuk selamat, maka seharusnya Injil harus didengar oleh semua manusia. Bukankah aneh jika Tuhan ingin semua orang untuk diselamatkan tetapi Dia membiarkan banyak orang mati tanpa mendengar Injil (yang merupakan sarana supaya seseorang bisa beriman dan diselamatkan)? 

Hal ini harus dipikirkan baik-baik oleh orang-orang yang menjual klaim bahwa Allah menginginkan semua orang untuk selamat. Bagi saya klaim itu adalah omong kosong tak berdasar. 

Jadi, berdasarkan argumen ini, saya menyimpulkan bahwa Allah tak pernah menginginkan setiap orang untuk diselamatkan.

CATATAN SINGKAT TENTANG ALASAN REPROBATION

Oleh: Join Kristian Zendrato

Apakah dasar atau alasan dari reprobation? Sebelum menjawab ini, perlu diingat bahwa seperti yang diutarakan oleh Prof. Louis Berkhof, reprobation itu terdiri dari dua elemen yang harus dibedakan, yakni (1) preterition (pelewatan), dan (2) condemnation (penghukuman).

Maka menurut saya, preterition ini tidak bersyarat, dalam arti Tuhan tidak melewati karena dosa tetapi semata-mata karena kehendak-Nya. Tetapi dalam elemen condemnation, tidak bisa tidak, dosa diharuskan sebagai penyebabnya. 

Hal ini bisa dibandingkan dengan kasus pemilihan (election). Dalam kasus pemilihan, pemilihan itu sendiri berasifat unconditional (tanpa syarat). Sedangkan keselamatan sebagai tujuan pemilihan mempunyai syarat-syarat, seperti regeneration, iman, pembenaran, dsb. Semua syarat-syarat itu akan dan pasti terjadi dalam diri orang pilihan.

Jadi preterition dan pemilihan bersifat bebas. Sedangkan condemnation dan keselamatan itu bersyarat. Syarat condemnation adalah dosa. Syarat keselamatan adalah regeneration, iman, pembenaran, dsb. 

Tetapi perlu digaris bawahi bahwa syarat-syarat keselamatan dibawa secara efektif oleh Allah kepada orang pilihan. Sedangkan syarat condemnation, yakni dosa, datang dari kehendak manusia sendiri. 

Memang dosa pun tercakup dalam ketetapan Allah, tetapi ketika dosa itu terjadi, manusia sendirilah yang menghendaki dan melakukannya, dan dengan demikian bertanggungjawab untuk dosa-dosanya.

GELAR AKADEMIK TAK SELALU MENJAMIN SESEORANG MENGAJARKAN AJARAN YANG BENAR

Oleh: Join Kristian Zendrato

Beberapa waktu yang lalu saya menonton kuliah lama dari R.C. Sproul berjudul "Contradiction vs. Mystery: The Mystery of the Trinity." 

Sproul dalam kuliah itu menceritakan tentang seorang profesor yang suatu kali dalam kelas yang diikuti oleh Sproul membuat pernyataan demikian, "God is absolutely immutable in His essence, and God is absolutely mutable in His essence" (Allah secara absolut tidak berubah dalam esensi-Nya, dan Allah secara absolut berubah dalam esensi-Nya).

Sproul berkata bahwa di antara para mahasiswa yang mendengar hal itu, banyak yang menganggap bahwa pernyataan profesor tersebut sebagai sesuatu yang luar biasa. "That's deep" (Itu mendalam), kata para mahasiswa tersebut.

Tetapi bagi Sproul sendiri, kata-kata profesor tersebut adalah kata-kata yang berkontradiksi, tidak benar dan nonsense. Sproul berkata, "That's nuts. That's whacky" (Itu gila. Itu sinting).

Sproul benar. Karena Allah tidak mungkin absolutely immutable in His essence (secara absolut tidak berubah dalam esensi-Nya) dan absolutely mutable in His essence (secara absolut berubah dalam esensi-Nya) pada saat yang sama. 

Pernyataan profesor itu jelas melanggar hukum non-kontradiksi yang secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut: A bukan A dan Non-A pada saat yang sama dan dalam relasi yang sama. Demikian juga, Allah tidak bisa memiliki sifat yang tidak berubah dan sifat yang berubah pada saat yang sama dan dalam relasi yang sama. Itu adalah kontradiksi.

Lalu kenapa tetap saja ada orang yang menganggap bahwa pernyataan profesor itu sebagai sesuatu yang luar biasa dan mendalam, padahal itu jelas pernyataan yang kontradiksi?

Sproul mengatakan bahwa, "...if you have enough education and a position of authority in the academic world, you can make nonsense statements and have people walk away impressed by how profound you are."

Terjemahannya sebagai berikut, "...jika Anda memiliki pendidikan yang cukup dan posisi yang berotoritas dalam dunia akademik, Anda dapat membuat pernyataan-pernyataan yang tidak masuk akal [omong kosong] dan membuat orang-orang terkesan oleh betapa dalamnya [pemikiran] Anda."

Kata-kata Sproul ini memang tidak bisa dimutlakkan. Tetapi bagaimana pun, kejadian seperti ini banyak terjadi. Orang-orang yang memiliki kedudukan tertentu, jabatan tertentu seringkali menyatakan banyak omong kosong dan bahkan menyatakan hal-hal yang kontradiksi dan tak masuk akal (absurd), tetapi tetap saja banyak orang yang menyanjung mereka.

Ini jelas bahaya. Dan dalam dunia teologi orang-orang seperti itu banyak. 

Saran saya, jangan hanya gara-gara kedudukan akademis, gelar yang mentereng, maka kita menganggap bahwa kata-kata seseorang itu pasti benar.

Gelar akademik, kedudukan akademik tidak menjamin seseorang mengajarkan hal yang benar. Ujilah segala sesuatu dengan Alkitab, dan jangan lupa juga gunakan selalu akal sehat.

"Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik" (1 Tesalonika 5:21).

KOMENTAR SINGKAT TENTANG SPIRITUALITAS ALA DANIEL MANANTA

Oleh: Join Kristian Zendrato Siapa yang tidak mengenal Daniel Mananta, pembawa acara terkenal Indonesian Idol. Daniel telah membuat channel ...