Oleh: Join Kristian Zendrato
Pikirkanlah sejenak orang-orang yang telah pergi dari dunia ini.
Pikirkanlah juga tentang bayi-bayi yang lahir. Yang pertama akan membawa kita
pada pikiran betapa mengerikannya kematian. Yang kedua akan membawa kita pada
pikiran betapa dinamisnya hidup.
Tetapi Anda akan segera menyadari bahwa bayi yang baru lahir itu
pun akan pergi suatu saat dari dunia ini (bahkan ada yang langsung pergi pada
saat lahir).
Poinnya adalah hidup itu singkat dan fana. Itulah mengapa
ungkapan Latin memento mori tidak boleh kita lupakan (memento mori
artinya ingatlah kita pasti akan mati).
Tragisnya, kebanyakan dari kita berpikir bahwa kita akan
baik-baik saja. Dan satu kali pun tak pernah berpikir tentang kefanaan hidup.
Padahal Alkitab yang adalah satu-satunya Firman Allah yang tanpa salah berulang
kali mengingatkan kita bahwa suatu saat kita akan kembali menjadi debu.
Menarik untuk diperhatikan bahwa tubuh kita di dunia ini sering
digambarkan Alkitab sebagai "kemah." Kemah adalah tempat sementara.
Dalam 2 Korintus 5:1, Paulus menulis, "Karena kami tahu, bahwa jika kemah
tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu
tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang
tidak dibuat oleh tangan manusia."
Paulus menyebutkan "kemah tempat kediaman kita
dibumi." Hal ini menunjukkan pada tubuh kita. Kalau kita memperhatikan
lanjutan dari penjelasan Paulus, maka dalam 2 Korintus 5:2 dan ayat 4
dijelaskan bahwa selama kita berada dalam kemah ini, kita akan mengeluh. Hal
ini menunjuk pada fakta bahwa selama di dunia ini, kita akan banyak menderita.
Bukan hanya itu saja. Kembali ke ayat 1, Paulus menegaskan bahwa
kemah itu suatu saat akan "dibongkar." Kemah yang dibongkar menunjuk
pada kematian. Jadi, bukan hanya penderitaan yang akan kita alami selama kita
mendiami kemah, tetapi juga kematian.
Sekarang kita akan bertanya, "Apakah ketika kemah itu
dibongkar, maka semua akan berakhir?"
Dengan kata lain apakah hidup itu akan berakhir setelah
kematian, dan dengan demikian, sebenarnya hidup ini tak berarti seperti
deskripsi yang terkenal dari Macbeth dalam karya William Shakespeare,
"Hidup hanyalah bayangan yang berjalan, aktor malang yang menjalani
hari-harinya dipanggung lalu tak terdengar lagi. Hidup adalah dongeng yang
dikisahkan oleh si tolol, penuh dengan kebisingan dan tak berarti."
Ataukah seperti yang dinyatakan oleh Bertrand Russel dalam
bukunya Why I am Not a Christian, "Aku akan membusuk setelah mati, dan
egoku tidak akan ada lagi."
Baik tokoh fiktif Macbath dalam karya Shakespeare dan Bertrand
Russel ditentang oleh Injil Perjanjian Baru. Sesungguhnya kematian bukan akhir,
akan ada kehidupan setelahnya.
Dalam perikop yang telah kita lihat sebelumnya, Paulus
mengatakan bahwa meskipun kemah kita akan dibongkar dan dengan demikian kita
mati, Allah yang penuh dengan anugerah telah menyediakan "rumah" yang
kekal kepada kita di Sorga. Paulus menulis: "Karena kami tahu, bahwa jika
kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu
tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang
tidak dibuat oleh tangan manusia" (2 Korintus 5:1).
Ya, jika kita mati, jika kemah dibongkar, jangan takut karena
" Allah telah menyediakan." Apa yang Allah telah sediakan? "suatu
tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang
tidak dibuat oleh tangan manusia." Dalam terjemahan New American Standar
Bible (NASB) dikatakan,"a building from God, a house not made with hands,
eternal in the heavens" (suatu bangunan dari Allah, suatu rumah yang tidak
dibuat oleh tangan, kekal di surga).
Jadi jika kemah kita dibongkar, Allah telah menyediakan rumah
kekal bagi kita. Kitab Wahyu menggambarkan suasana di sana dengan indah,
"Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak
akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau
dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu" (Wahyu 21:4).
Gambaran keadaan kita di rumah yang kekal sangat kontras dengan
keadaan kita dalam kemah kita yang sementara. Itulah kenapa Rasul Paulus dengan
yakin berkata dalam Roma 8:18, "Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman
sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan
kepada kita."
Bagi saya, ini adalah penghiburan yang incomparable. Tetapi satu
hal yang harus diingat bahwa semua hak istimewa ini hanya akan dinikmati oleh
kaum pilihan Allah, kaum yang diregenerasikan Allah, kaum yang dipanggil Allah
secara efektif, kaum yang beriman dan dibenarkan secara cuma-cuma oleh
pengorbanan Yesus Kristus - Sang Pengantara kita (Yohanes 3:16; Kisah Para
Rasul 4:12; Roma 8:1; 28-30).
Sedangkan bagi yang lain yang tidak mempercayai Tuhan Yesus
Kristus sebagai Penebus mereka akan dibuang keluar dari "rumah" Allah
di Sorga ke "rumah" api dalam neraka selama-lamanya sebagai
konsekuensi ultimat dari dosa-dosa mereka. Kitab Wahyu menggambarkan suasana
itu dengan berkata, "Maka asap api yang menyiksa mereka itu naik ke atas
sampai selama-lamanya, dan siang malam mereka tidak henti-hentinya disiksa,
yaitu mereka yang menyembah binatang serta patungnya itu, dan barangsiapa yang
telah menerima tanda namanya" (Wahyu 14:11).
Satu-satunya hal yang sama antara sorga dan neraka adalah
kekekalannya. Di Sorga, kita akan menikmati persekutuan dengan Allah secara
kekal. Di neraka, orang-orang tak percaya akan mengalami murka Allah Tritunggal
secara kekal.
Jonathan Edwards dalam khotbahnya yang sangat terkenal: Sinners
in the Hands of an Angry God berkata mengenai murka Allah dalam neraka yang
kekal sebagai berikut: "Murka [Allah] itu berlangsung kekal. Mengalami
murka dan kegeraman Allah yang mahakuasa untuk sesaat saja sudah sangat
mengerikan, sedangkan Anda harus mengalaminya sepanjang kekekalan. Takkan ada
perhentian bagi penderitaan yang luar biasa mengerikan ini. Saat memandang ke
depan, Anda akan melihat kekekalan, suatu masa tiada akhir yang ada di hadapan
Anda, yang akan menghapus seluruh pemikiran Anda, hingga Anda benar-benar
berhenti mengharapkan datangnya pelepasan, perhentian, pengurangan siksaan, dan
kedamaian. Anda akan segera tahu bahwa Anda harus menjalani masa-masa yang
panjang, berjuta-juta abad, untuk bergumul dan berjuang melawan pembalasan
mahadahsyat yang tak mengenal belas kasihan ini. Lalu, setelah menjalaninya,
setelah selama berabad-abad melaluinya, Anda akan mendapati semua keadaan itu
masih terus berlangsung. Demikianlah, sesungguhnya hukuman Anda akan
berlangsung selamanya. Oh, siapakah yang dapat membayangkan keadaan orang yang
berada dalam situasi seperti itu! Semua yang dapat kita katakan tentang hal
ini, hanya mampu memberikan gambaran, yang sangat lemah dan kabur mengenainya;
hal itu sungguh tak terkatakan dan tak terbayangkan, karena 'siapakah yang
mengenal kekuatan murka [Allah]?" (dikutip dari Jonathan Edwards, Sinners
in the Hands of an Angry God [Surabaya: Momentum, 2010], hal. 43-44).
Itulah deskripsi dari nasib orang-orang tak percaya. Sangat
mengerikan!
Sekarang kita kembali kepada masalah awal yang telah saya
bicarakan sebelumnya. Hidup itu singkat. Kemah kita akan "dibongkar"
suatu saat. Dan kematian bukan akhir dari segalanya seperti klaim Bertrand
Russel. Kematian bagi orang percaya merupakan gerbang kepada "rumah"
yang kekal di sorga. Heaven is our home. Itulah rumah orang-orang beriman kepada
Kristus.
Kematian juga bukan akhir eksistensi dari orang-orang tak
percaya kepada Kristus. Tetapi berbeda dengan orang-orang pilihan, kematian
bagi orang-orang tak percaya merupakan gerbang menuju "rumah" api
yang kekal dalam neraka.
Ditulis oleh: Join Kristian Zendrato
Tidak ada komentar:
Posting Komentar