Selasa, 18 Januari 2022

ALLAH DAN WABAH COVID-19

Oleh: Join Kristian Zendrato

Kita telah melalui banyak hari dengan berita seputar Covid-19 (Corona Virus Disease 2019) yang melanda dunia. Hingga saat ini, wabah Covid-19 sudah membuat banyak masalah: kematian, ekonomi yang merosot, dan sebagainya. 

Dalam problem seperti ini kita mungkin tergoda untuk berpikir bahwa Allah telah lepas tangan atas dunia. Kita bisa mengakui tangan Allah dalam kondisi yang baik dan aman, tetapi kita kesulitan mengakui tangan-Nya dalam wabah penyakit yang menimbulkan berbagai macam penderitaan. 

Jika kita berpikir seperti itu, saya harus mengatakan bahwa pikiran kita telah jauh melenceng dari ajaran Kitab Suci. 

Saya percaya bahwa Allah tak pernah lepas tangan, dan Covid-19 ini terjadi karena rencana dan ketetapan Allah yang berdaulat. Covid-19 ini tidak pernah mengejutkan Allah. Dan bahkan segala sesuatu yang terjadi tidak pernah mengejutkan Allah, sebab segala sesuatu yang terjadi, betapapun anehnya, dan remehnya terjadi karena Allah menghendakinya untuk terjadi. 

Dalam Matius 10:29-30 Yesus berkata, "Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekor pun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung semuanya."

Dalam ayat di atas, Yesus menyebutkan burung Pipit yang harganya sangat murah, tetapi seekor burung pipit itu tidak akan pernah jatuh atau mati (apapun penyebabnya) jika hal itu tidak dikehendaki Allah. Demikian juga rambut kita, semua terhitung oleh Allah yang menunjukkan kepedulian Allah bahkan terhadap hal yang sangat remeh. Dengan demikian rambut kita pun hanya mungkin bisa rontok jika itu dikehendaki Allah. 

Dengan pemahaman seperti itu, saya juga menganggap bahwa jika kejatuhan burung pipit hanya terjadi jika Allah menghendakinya terjadi, maka Covid-19 dan segala sesuatu yang terjadi, terjadi karena Allah menghendakinya terjadi. 

Itulah mengapa, Rasul Paulus berkata dalam Roma 11:33, "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!"

Dalam ayat itu, Paulus mengajarkan dengan eksplisit bahwa sumber segala sesuatu (dengan demkian termasuk Covid-19) adalah "dari Dia" yakni Allah. 

Dan kebenaran ini kembali ditandaskan oleh Paulus ketika ia berkata bahwa Allah adalah "... Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya" (Efesus 1:11). Ya, segala sesuatu, tidak kurang dari itu. Maksudnya adalah keputusan Allahlah yang menyebabkan segala sesuatu itu terjadi (termasuk Covid-19).

Inilah yang membuat Ayub, setelah ditimpa oleh berbagai macam bencana berseru, "TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayub 1:21). Sekali lagi, Ayub mengenali sumber pertama dari penderitaannya yaitu Allah (TUHAN yang mengambil). 

Jadi, apapun yang terjadi tidak pernah membuat Allah menjadi heran atau terkejut karena segala sesuatu yang terjadi merupakan rencana dan ketetapan Allah termasuk Covid-19. Jika ada satu saja yang terjadi yang bisa mengejutkan Allah, maka Allah tidak maha tahu, dan ada sesuatu yang berada di luar kontrol Allah. Dan dengan demikian sesuatu itu melampaui kuasa Allah. Jika itu terjadi maka Allah bukan Allah. Jadi jika ada satu saja yang terjadi di luar rencana dan ketetapan Allah, maka kita harus mempercayai atheisme. 

Jika kita menyetujui poin-poin yang sudah dijabarkan sejauh ini, maka adalah natural untuk bertanya: apa tujuan Allah merencanakan dan menetapkan Covid-19 (dan segala macam penderitaan lainnya)?

Jawaban untuk pertanyaan ini tidak mudah. Tetapi sebelum berusaha menjawab, kita perlu mengingat bahwa penetapan Allah atas segala sesuatu yang terjadi tidak pernah terjadi secara arbitrer. Tetapi tetap terjalin bersama-sama dengan kebijaksanan-Nya dan kekudusan-Nya.

Lalu apa tujuannya Allah merencanakan dan menetapkan segala penderitaan dalam dunia ini? Jawaban untuk ini begitu luas. Setiap kasus yang terjadi memiliki tujuan spesifik di mata Allah. Dan itu bisa saja tidak bisa kita pikirkan secara komprehensif. 

Kita harus menanamkan dalam kepala kita bahwa segala pekerjaan Allah tak mampu kita selami dan pahami secara komprehensif. Finitum non possit capere infinitum. Paulus menulisnya demikian, "O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!" (Roma 11:33).

Tetapi satu hal yang perlu kita aminkan sebagai orang percaya adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi, yang merupakan realisasi dari rencana dan ketetapan kehendak Allah yang absolut bertujuan "untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah" (Roma 8:28).

Anda mungkin bertanya kebaikan apa itu? Kebaikan apa yang saya dapatkan atas terjadinya wabah Covid-19 atau penderitaan lainnya? Saya tidak mungkin bisa menjawab hal itu secara komprehensif. Itu bisa saja supaya kita lebih bergantung kepada-Nya, atau supaya kita kembali ke jalan yang benar, atau supaya kita tidak melulu memikirkan dunia dan membawa kita sejenak untuk memikirkan sorga dan neraka, atau supaya kita bisa menunjukkan kasih kita kepada sesama. Dan banyak kemungkinan lainnya. Intinya, bagi kita yang percaya, segala sesuatu yang terjadi membawa kebaikan bagi kita, bahkan jika itu kematian itu hanya membuat kita menjadi bersama-sama dengan Kristus di surga. 

Mempercayai bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan rencana dan ketetapan Allah, dan tidak ada apapun yang terjadi diluar kehendak Allah merupakan "obat kuat" dalam menjalani hidup di dunia ini. Itu berarti hidup dan mati adalah keputusan Tuhan. Sakit atau sehat adalah keputusan Tuhan. 

Jika kita berada dalam bahaya apapun percayalah bahwa Allahlah yang memegang kontrol. Satu helai rambut pun tak akan jatuh kalau dia tak menghendaki. Dan jika kita mengalami hal yang pahit tetap percaya bahwa itupun adalah tangan Allah yang akan selalu membawa maksud baik bagi kita yang percaya.

John Ryland pernah menulis sebuah syair yang sangat indah yang isinya memuat kebenaran ini:

"Plagues and deaths around me fly; Till He bids, I cannot die; Not a single shaft can hit, Till the God of love sees fit."

Terjemahan bebas:

"Penyakit dan kematian melingkupiku; Tapi ajal takkan menjemputku tanpa seizin-Nya; Tak satu pun tongkat yang dapat menyentuhku, Sampai Allah yang kasih memandangnya perlu."

Itulah kata-kata yang keluar dari mulut yang mempercayai penetapan Allah atas segala sesuatu. Tak ada yang bisa terjadi, apa pun itu, di luar ketetapan dan rencana Allah. 

Tetapi saya ingin mengingatkan secara singkat bahwa semua ini tidak boleh membuat kita membuang tanggung jawab kita. Kita tetap wajib melakukan yang terbaik yang kita bisa, tetapi dengan tetap mencamkan bahwa hasil akhir dari segala usaha, bahkan usaha itu sendiri, berada dalam dan tidak pernah terlepas dari rencana dan ketetapan Allah yang absolut.

APAKAH YUDAS MASUK SURGA BERDASARKAN LUKAS 23:34?

Oleh: Join Kristian Zendrato

Beberapa waktu yang lalu, saya menonton sebuah video dari Channel Youtube sang debaters. Video itu diberi judul: Yudas Masuk Sorga. Seperti judulnya, video itu memang berisi ajaran yang menyatakan bahwa Yudas Iskariot itu masuk surga.

Banyak argumen yang diberikan oleh sang debaters untuk mendukung ajarannya itu. Secara pribadi, saya tidak setuju dengan ajaran itu. Saya percaya bahwa Yudas masuk neraka. 

Di antara argumen-argumennya, salah satu yang mau saya bahas adalah penggunaannya atas teks Lukas 23:34. 

Lukas 23:24 itu berbunyi demikian, "Yesus berkata: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." Dan mereka membuang undi untuk membagi pakaian-Nya." 

Sang debaters menyatakan bahwa doa pengampunan Yesus itu mencakup Yudas, karena doa itu diucapkan Yesus setelah Yudas mati, bukan sebelum Yudas mati. Kira-kira begitu argumennya.

Perlu dicatat bahwa memang waktu Yesus mengatakan Lukas 23:34 itu, Yudas telah mati (lihat Matius 27:1-10).

Jadi, Apakah pengampunan dalam ucapan Yesus itu mencakup Yudas Iskariot yang telah mati? 

Jika kita hanya berfokus pada Lukas 23:34, maka bisa saja konsep seperti itu diterima. Tetapi itu bukan pilihan yang tepat dalam menafsirkan Alkitab. 

Kita harus melihat bagian-bagian lain dalam Kitab Suci yang mungkin akan memberikan penjelasan akan hal itu, sebab “The principal rule of interpreting Scripture is that Scripture interprets Scripture" (R.C. Sproul).

Jika kita melakukan ini, maka ada beberapa hal yang perlu kita tandaskan. 

Pertama. Alkitab menyebutkan bahwa pada saat seseorang mati maka jiwa atau rohnya akan langsung masuk surga atau neraka (Lukas 16:19-31; Lukas 23:43). Memang pada saat ini hanya jiwa yang masuk surga atau neraka, sedangkan tubuhnya ada dalam kuburan. Nanti pada akhir zaman, tubuh ini akan dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa yang sudah ada di surga atau di neraka. 

Berdasarkan poin ini, doa Yesus dalam Lukas 23:34 jelas tidak lagi mencakup Yudas, karena kematian Yudas sudah terjadi sebelum Lukas 23:34. Kematiannya itu membuat Yudas sudah langsung masuk neraka atau surga. Jadi, doa Yesus tidak berefek pada Yudas sama sekali (entah anda percaya dia masuk neraka atau sorga).

Kedua. Alkitab menyebutkan bahwa keadaan setelah kematian itu tetap, tak bisa berubah. Ini terlihat dari kisah Lazarus dan orang kaya dalam Lukas 16:19-31. 

Dalam ayat 26 dinyatakan begini: "Selain dari pada itu di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu ataupun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang."

Ayat di atas secara mutlak menekankan bahwa keadaan setelah kematian itu tetap adanya. 

Berdasarkan poin ini, Doa Yesus tidak mungkin mencakup Yudas yang keadaannya telah tetap pada saat kematiannya. 

Ketiga. Alkitab juga menyebutkan bahwa keadaan seseorang setelah kematian (entah masuk sorga atau masuk neraka) ditentukan oleh hal-hal yang dilakukan dalam hidup ini. 

Dalam 2 Korintus 5:10 dinyatakan, "Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat."

Jadi Tuhan hanya memperhitungkan "yang dilakukannya dalam hidupnya" untuk menentukan keadaan seseorang setelah kematian. Jadi, setelah seseorang mati, tidak peduli apapun yang dilakukan kepadanya oleh orang-orang yang masih hidup, tidak akan pernah berpengaruh padanya sama sekali.

Jadi, doa Yesus pun dalam Lukas 23:34 tidak berpengaruh kepada Yudas sebab Yudas sudah mati sebelumnya.

Jadi, menurut saya, entah Anda percaya Yudas masuk surga atau neraka, adalah tidak sah untuk menggunakan Lukas 23:34 untuk menentukan apakah Yudas masuk surga atau neraka. Kecuali Lukas 23:24 dicomot tanpa memperhatikan data-data lain dalam Kitab Suci.

Oh yah, mungkin anda bertanya-tanya jika benar bahwa jiwa seseorang itu sudah langsung masuk surga atau neraka pada saat ia mati (poin pertama di atas) bukankah dengan demikian penghakiman akhir zaman tidak diperlukan lagi? Lalu apa fungsi penghakiman terakhir kalau begitu? 

Untuk menjawab hal ini, saya akan memberikan kutipan dari seorang teolog Reformed, Prof. Louis Berkhof. Ia menulis sebagai berikut: 

"Penghakiman pada akhir zaman itu berbeda dengan penghakiman yang diberikan ketika seseorang mati. Penghakiman terakhir ini tidak rahasia, tetapi di muka umum, bukan hanya menghakimi jiwa saja, tetapi juga tubuh, tidak saja kepada satu indvidu tunggal, tetapi bagi semua manusia" (dikutip dari Louis Berkhof, Teologi Sistematika 6: Doktrin Akhir Zaman, hal. 136).

ALLAH DAN KETIADAAN (GOD AND NOTHINGNESS)

Oleh: Join Kristian Zendrato

Apa yang anda lihat di dunia ini? Banyak bukan? Ada manusia, binatang, tumbuhan, bulan, bintang, cahaya, matahari, laut, dan seterusnya. 

Di sekolah minggu, kita telah diajarkan bahwa semua itu ada karena diciptakan oleh Allah. 

Tetapi bagaimana jika itu salah? Bagaimana jika sebenarnya semua itu ada begitu saja dari ketiadaan seperti yang dikatakan oleh orang-orang atheis? 

Pertama. Alam semesta tidak mungkin ada dari ketiadaan, karena ketiadaan itu sendiri tidak bisa menghasilkan apa-apa. 

Supaya ketiadaan bisa menghasilkan sesuatu, maka ketiadaan itu haruslah sesuatu. Karna sesuatu yang lain hanya bisa dihasilkan oleh sesuatu pula. Faktanya, ketiadaan itu adalah bukan sesuatu, bukan apa-apa. Karena itu, ketiadaan tak bisa menghasilkan apa pun.

Dalam bahasa Latin, hal ini dinyatakan dalam ungkapan yang sangat terkenal: "ex nihilo nihil fit" (dari ketiadaan tidak muncul apa pun). 

Kedua. Andaikata ketiadaan (ini andaikata yah) bisa menghasilkan sesuatu, maka apa yang dihasilkannya itu tidak mempunyai tujuan untuk eksis. 

Misalnya, jika manusia berasal dari ketiadaan, maka manusia tidak mempunyai tujuan apa pun untuk eksis. Dia juga tidak akan mempertanggungjawabkan apapun karena dia berasal dari ketiadaan.

Jika manusia berasal dari ketiadaan, maka kisah manusia itu akan seperti penggambaran William Shakespeare, "A tale told by an idiot, full of sound and fury, signifying nothing."

Jadi, hanya jika kita percaya kepada Allahlah, kita bisa menjelaskan asal-usul segala sesuatu dan tujuan segala sesuatu itu. 

Jika kita tidak mempercayai Allah, dan menganggap bahwa segala sesuatu itu ada dengan sendirinya dari ketiadaan, maka kita tidak dapat menjelaskan baik asal usul maupun tujuan dari segala sesuatu itu. 

Ingatlah selalu pelajaran Sekolah Minggumu.

YESUSLAH YANG PALING BANYAK BERBICARA MENGENAI DOKTRIN TENTANG NERAKA DAN PENGHUKUMAN KEKAL

Oleh: Join Kristian Zendrato

Jika Anda membaca seluruh Perjanjian Baru, bahkan seluruh Alkitab, maka Anda akan mendapati bahwa orang yang paling banyak berbicara mengenai neraka adalah Tuhan Yesus Kristus.

Periksalah beberapa teks ini: Markus 9:43-48; Matius 10:28; Lukas 12:4-5; Matius 18:8; 25:41, 46; Lukas 16:19-31. Semua referensi tentang neraka dalam teks itu berasal dari Yesus. 

Berikut ini, saya juga ingin memberikan beberapa kutipan dari buku-buku tologi mengenai penegasan bahwa memang Yesuslah yang paling banyak mengajar tentang doktrin neraka.

J. C. Ryle: "Marilah kita mengerti bahwa Tuhan Yesus Kristus berbicara dengan sangat terus terang tentang realitas dan keabadian neraka. Tidak ada mulut yang menggunakan begitu banyak kata untuk menyatakan kengerian neraka seperti mulut Dia yang tentang-Nya orang berkata, 'Belum pernah seorang manusia berkata seperti orang itu!' (Yoh. 7:46)." - dikutip dari buku J. C. Ryle, Aspek-aspek Kekudusan (Surabaya: Momentum), hal. 85.

William G. T. Shedd: "Jesus Christ the person responsible for the doctrine of eternal perdition" [terjemahan: Yesus Kristus adalah pribadi yang bertanggung jawab untuk ajaran atau doktrin penghancuran / penghukuman kekal]. - dikutip dari buku William G. T. Shedd, Dogmatic Theology, third edition, ed. Alan Gomes (Phillipsburg, New Jersey: Presbyterian and Reformed Publishing Company, 2003), hal. 892.

John Piper: "Yesus membicarakan neraka lebih dari orang lain di dalam Alkitab." - dikutip dari buku John Piper, Apa yang Yesus Tuntut dari Dunia (Malang: Literatur SAAT, 2016), hal. 97.

John Piper: "Kata neraka (gehenna) muncul dalam Perjanjian Baru dua belas kali--sebelas kali diucapkan oleh Yesus. Itu bukanlah suatu mitos yang diciptakan oleh para pengkhotbah yang sedih dan marah. Itu adalah peringatan serius dari Anak Allah ..." - dikutip dari buku John Piper, Mendambakan Allah (Surabaya: Momentum, 2017), hal. 59.

Harry Buis: "Fakta bahwa Juruselamat yang penuh kasih dan bijaksana banyak berbicara tentang neraka, lebih daripada semua tokoh lain di dalam Alkitab, jelas membuat kita harus berpikir tentang doktrin penghukuman kekal." - dikutip oleh Anthony A. Hoekema dalam bukunya, Alkitab dan Akhir Zaman (Surabaya: Momentum, 2004), hal. 359. Hoekema mengutip dari buku Harry Buis, Doctrine of Eternal Punishment (Philadelphia: Presbyterian and Reformed, 1957), hal. 33.

Christopher W. Morgan dan Robert A. Peterson: "Setiap penulis Perjanjian Baru berbicara tentang adanya hukuman yang akan datang untuk orang-orang fasik. Tuhan Yesus sendiri yang akan berdiri sebagai pembela utama - baik Thomas Aquinas atau Jonathan Edwards tidak pernah berbicara dengan begitu menakutkan tentang kengerian-kengerian neraka seperti yang dilakukan Yesus. Pasti, kita yang menyebut Yesus 'Tuhan' tidak memiliki hak istimewa untuk menolak atau mengabaikan doktrin yang sangat jelas di dalam Alkitab dan begitu tegas di dalam pengajaran-pengajaran Tuhan kita." - dikutip dari Christopher W. Morgan dan Robert A. Peterson, Hell Under Fire (Malang: Gandum Mas, 2009), hal. 309.

Semua ini membuktikan bahwa Yesus sangat serius mengajarkan doktrin ini. Fakta ini berbeda dengan keadaan kita sekarang. Khotbah-khotbah tentang neraka jarang ditemui, bahkan tak jarang orang-orang percaya berusaha membuat neraka menjadi bahan lelucon.

Ajaran ini perlu dikumandangkan kembali. Jika Yesus mengajarkannya secara kuat, maka tidak ada alasan bagi orang yang menyebut dirinya Kristen untuk mengabaikan atau bahkan menolak doktrin ini.

GAGALNYA POTRET YESUS YANG DIKONSTRUKSI DI LUAR KITAB-KITAB INJIl (FEAT JOHN PIPER)

Oleh: Join Kristian Zendrato

Saya baru saja membaca esai yang bernas dari John Piper berjudul, "Sepatah Kata Kepada Para Sarjana Alkitab (Dan Kepada Mereka yang Bertanya-tanya Apa yang Sedang Mereka Lakukan)." Esai ini terdapat dalam buku Piper: Apa yang Yesus Tuntut Dari Dunia (Malang: Literatur SAAT, 2016), hal. 19-26.

Dalam esainya tersebut, Piper membahas secara singkat mengenai potret Yesus menurut studi kritik historis. Keseluruhan esainya menunjukkan bahwa Piper jelas menolak potret Yesus versi kritik historis tersebut. Masalahnya menurut Piper adalah bahwa potret Yesus menurut studi ini sering dikonstruksi berdasarkan sumber-sumber di luar Kitab-Kitab Injil, sehingga Piper di awal esainya menegaskan, "... berkenaan dengan penyelidikan-penyelidikan tentang Yesus menurut sejarah bukan berarti bahwa tidak ada yang pasti yang dapat dikatakan tentang Yesus, melainkan usaha di luar ke-4 Kitab Injil membawa orang kepada lautan spekulasi yang tidak akan tiba pada pulau manapun yang dapat disebut potret Yesus yang dapat dipercaya" (Piper, Sepatah Kata Kepada Para Sarjana Alkitab, hal. 19).

Apa yang dikatakan Piper disubstansiasi dengan fakta bahwa penyelidikan-penyelidikan tentang Yesus dengan metode kritik historis terus menerus menghasilkan potret Yesus yang tidak konstan.

Piper menyatakan bahwa menurut para sarjana, ada tiga (tahap) penyelidikan tentang Yesus menurut sejarah (The Historical Jesus). 

Penyelidikan pertama berakar pada zaman Benedict Spinoza (1632-1677), yang dilanjutkan Herman Remairus (1694-1768), David Friedrich Strauss (1808-1874), William Wrede (1859-1906), dan lain-lain. Tetapi potret Yesus dalam penyelidikan pertama ini kemudian diserang oleh Albert Schweitzer (1875-1965), dan Martin Kahler (1835-1921), yang juga memperkenalkan potret Yesus menurut versi mereka sendiri.

Setelah penyelidikan pertama gagal, penyelidikan kedua dibangkitkan oleh seorang Jerman dan murid Rudolf Bultman bernama Ernst Kasemann pada tahun 1953. Tetapi, seperti penyelidikan pertama, penyelidikan kedua juga gagal. Piper secara pribadi berkomentar, "... dan penyelidikan ini telah memberi saya sekam dan abu" (Piper, Sepatah Kata Kepada Para Sarjana Alkitab, hal. 21). 

Setelah penyelidikan kedua gagal, muncullah penyelidikan ketiga tentang Yesus menurut sejarah. Untuk deskripsi mengenai penyelidikan ini, Piper mengutip Beb Witherington III, penulis The Jesus Quest: The Third Search for the Jew of Nazareth (Downers Grove, Ill.: Intervarsity Press, 1995). Witherington menyatakan bahwa penyelidikan ketiga ini "dimulai pada awal 1980, dipicu oleh beberapa data baru dari arkeologi dan manuskrip, beberapa perbaikan metodologis, dan antusiasme baru bahwa penelitian historis tidak perlu menuju jalan buntu" (Witherington, The Jesus Quest, hal. 12-13. Dikutip Piper, Sepatah Kata Kepada Para Sarjana Alkitab, hal. 22). 

Sampai sekarang penyelidikan ketiga ini masih berlangsung.

Gambaran-gambaran mengenai jatuh bangunnya penyelidikan-penyelidikan tentang Yesus menurut sejarah menunjukkan bahwa apa yang ditandaskan oleh Piper pada awal esainya adalah benar, bahwa memang potret Yesus yang dikonstruksi di luar ke-4 Kitab Injil hanya membawa orang kepada lautan spekulasi yang tidak akan tiba pada pulau manapun yang disebut sebagai potret Yesus yang sesungguhnya. 

Tetapi tunggu dulu, bukankah penyelidikan ketiga ini dikatakan masih berlangsung? Ya, tetapi Piper menilai bahwa usaha ini pun akan segera gagal dan dilupakan jika usaha ini menyimpang dari Injil Perjanjian Baru (mungkin akan digantikan lagi oleh penyelidikan keempat).

Piper menyertakan lima alasan untuk mendukung penilaiannya. Tetapi demi keringkasan, saya hanya akan menyinggung alasan yang kedua. 

Piper menyatakan bahwa usaha penyelidikan ketiga akan terus gagal jika menyimpang dari Injil PB karena telah banyak literatur dari pihak Kristen yang menyajikan kontra argumen terhadap penyelidikan ketiga dan penyelidikan pada umumnya. Piper menulis, "Allah telah membangkitkan beberapa generasi sarjana-sarjana yang teliti, bersemangat dan setia, yang tidak takut akan kritik-kritik yang radikal, dan yang dengan setia melanjutkan usaha mereka mendirikan kredibilitas keempat Injil secara historis" (Piper, Sepatah Kata Kepada Para Sarjana Alkitab, hal. 23).

Membaca penandasan Piper di atas, saya hanya ingin berkata: syukur kepada Allah Tritunggal. Amin. 

Ini adalah kabar baik bagi kita sebagai orang percaya. Sekarang pilihan di tangan kita, entah kita mau belajar atau tidak.

KOMENTAR SINGKAT MENGENAI KLAIM ORIGINALITAS IDE ATAU PEMIKIRAN

Oleh: Join Kristian Zendrato

Saya sudah sering mendengar tentang orang-orang yang kelihatannya menganggap bahwa pemikiran-pemikiran mereka (setidaknya sebagian) benar-benar original, yang berarti bahwa pemikiran yang sedang mereka utarakan belum pernah eksis sebelumnya. 

Mereka yang beranggapan seperti itu, jika mereka seorang dosen atau pengajar sering menuntut muridnya untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran yang original pula. Ini khususnya mereka harapkan kala berdiskusi, atau kala murid sedang dalam proses menulis makalah atau karya ilmiah. 

Saya pernah mengalami itu. Dan kali ini, saya akan berargumen bahwa itu sangatlah absurd.

Saya beranggapan bahwa semua pemikiran-pemikiran di dunia ini termasuk dalam dunia teologi tidak ada yang benar-benar original (dalam pengertian belum pernah esksis sebelumnya). Semua pemikiran kita telah dipikirkan oleh banyak orang sebelumnya. Kita (entah suka atau tidak suka) hanya mengulang pemikiran-pemikiran sebelumnya. 

Kita bisa saja memberikan istilah-istilah baru untuk sesuatu, tetapi makna yang terkandung dalam istilah-istilah itu telah eksis berabad-abad sebelumnya. 

Dalam dunia teologi, tidak ada ahli teologi yang benar-benar original pemikirannya. Teolog-teolog Reformed misalnya berhutang banyak pada pemikiran-pemikiran John Calvin dan tokoh lainnya. Calvin sendiri berhutang kepada bapa-bapa Gereja (khususnya Augustinus). Bapa-bapa Gereja berhutang kepada tokoh-tokoh lain atau Kitab Suci. Penulis-penulis Kitab Suci berhutang kepada Allah sebagai pewahyu. 

Jadi, pada analisis terakhir, Allah lah yang benar-benar original. 

Pemikiran-pemikiran kita sekarang banyak dipengaruhi oleh sumber lain (yang entah sudah kita lupakan atau masih ingat). Itu mungkin berasal dari buku, khotbah, diskusi, kuliah, atau seminar yang telah kita baca atau dengar bertahun-tahun yang lalu. Pemikiran-pemikiran kita berhutang pada masa lalu. Itu tidak original. 

Pengkhotbah mengingatkan, "Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: 'Lihatlah, ini baru!'? Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada" (Pengkhotbah 1:9-10).

Dengan penjelasan ini, saya terus terang heran dengan orang-orang yang anti kutipan. 

Saya sendiri sering mengutip pemikiran orang lain ketika saya menulis, mengajar, atau berkhotbah. Dan bagi saya sendiri, tidak ada masalah dalam tindakan mengutip pemikiran orang lain, asal disertai dengan alamat sumber, dan dikutip tanpa out of context. Itu adalah tindakan jujur dan terpuji. 

Sebaliknya, adalah memalukan untuk mengutarakan suatu pemikiran dan memproklamasikan pemikiran itu sebagai pemikiran original kita padahal itu adalah pemikiran orang lain. Itu simply tidak jujur.

MENJAWAB ARGUMENTASI GEMBEL ZAKIR NAIK

Oleh: Join Kristian Zendrato

Siang ini kami bertiga (Pak Syukur, Pak Eka, dan Saya sendiri) kala berbincang-bincang di kantor entah kenapa menyinggung salah satu pertanyaan Zakir Naik yang berbunyi kurang lebih demikian, "Di manakah dalam Alkitab Yesus pernah berkata, "Aku Allah, sembahlah Aku!"?

Nah, saya sudah sering mendengar pertanyaan ini dikumandangkan oleh Zakir Naik di Youtube. Ketika Zakir Naik bertanya "Di manakah dalam Alkitab Yesus pernah berkata, "Aku Allah, sembahlah Aku!"?, sebenarnya dia sedang ingin membuktikan bahwa Yesus bukan Allah. Jadi, sebenarnya Zakir Naik, melalui pertanyaannya itu sedang berargumen bahwa karena Yesus tidak pernah mengatakan dalam Alkitab "Aku Allah, sembahlah Aku," maka Yesus bukan Allah. 

Kira-kira begitulah rekonstruksi argumen dari Zakir Naik. 

Bagi saya sendiri, ini adalah argumentasi gembel yang tidak sah sama sekali untuk membuktikan bahwa Yesus bukan Tuhan. 

Langsung saja. Begini, identitas seseorang itu tidak serta merta hanya bisa dibuktikan dengan pengakuan langsung dari orang yang bersangkutan. Banyak cara lain. 

Misalnya, kalau ada seorang cewek masuk ke dalam sebuah ruangan, maka kemungkinan besar, kita akan langsung bisa mengidentifikasi orang itu sebagai cewek, tanpa pengakuan langsung dari orang itu bahwa ia seorang cewek. 

Pertanyaannya, mengapa kita langsung bisa mengidentifikasi orang itu sebagai cewek tanpa pengakuan langsung dari orang itu bahwa ia seorang cewek? Jawabannya karena meskipun dia tidak melakukan pengakuan langsung bahwa ia adalah seorang cewek, tetapi dari ciri-cirinya, kita sudah bisa langsung menyimpulkan bahwa dia cewek. 

Contoh lain. Kalau kita melihat Zakir Naik sedang ceramah di Youtube, kita sadar bahwa Zakir Naik adalah manusia tanpa pengakuan langsung dari Zakir Naik, "Aku manusia." 

Pertanyaannya, mengapa kita bisa menyimpulkan bahwa Zakir Naik adalah seorang manusia tanpa menunggu pengakuan langsung darinya bahwa ia adalah manusia? Jawabannya adalah meskipun ia tidak mengaku secara langsung bahwa ia adalah manusia, tetapi dari ciri-cirinya kita bisa menyimpulkan bahwa ia adalah manusia. 

Jadi dari dua contoh di atas, kita bisa melihat bahwa identitas seseorang itu tidak hanya bisa dibuktikan dengan mendengar pengakuan langsung dari orang itu, tetapi bisa dengan cara lain, seperti melihat ciri-cirinya, dsb. 

Jadi menurut saya, dalam kasus mengenai Yesus, tidak ada keharusan bagi orang Kristen untuk mencari pembuktian bagi Keilahian Yesus berdasarkan kata-kata langsung dari Yesus "Aku Allah, sembahlah Aku!" 

Sebab seandainya Yesus tak pernah mengaku secara langsung "Aku Allah, sembahlah Aku!", maka itu tak membuktikan bahwa Yesus bukan Allah, karena identitas Yesus sebagai Allah itu bisa terlihat dari ucapan-ucapan atau tindakan-tindakan-Nya.

Mari kita pertimbangkan data-data berikut. 

Dalam Matius 9:2 & 6, Yesus mengklaim bahwa Ia bisa mengampuni dosa. Kemudian dalam Yohanes 3:13, Yesus mengklaim bahwa Ia turun dari Sorga. Kemudian dalam Yohanes 8:58, Yesus berkata bahwa Ia sudah ada sebelum Abraham. Padahal Abraham sudah lama meninggal. Dalam Yohanes 14:13-14 Yesus mengklaim bahwa Ia bisa mengabulkan doa. Yesus juga mengklaim bahwa Dia akan datang sebagai Hakim pada akhir zaman (bdk. Mat. 25:31-32; Yoh. 5:22,27). Akhirnya Dia berkata bahwa Ia bisa menyuruh malaikat (Mat. 13:41).

Nah, dari data-data Alkitab di atas, semua tindakan dan ucapan-ucapan Yesus itu, meminjam kata-kata Millard J. Erickson, "tidak pantas diucapkan seandainya itu diucapkan oleh seorang yang bukan Allah" (Millard J. Erickson, Teologi Kristen, vol. 2, hal. 318).

Jadi, semua tindakan dan ucapan Yesus dalam tek-teks yang telah dikutip di atas hanya masuk akal jika Yesus benar-benar Allah. Karena orang biasa, tak mungkin menyuruh malaikat, sudah ada sebelum Abraham, atau turun dari Sorga. 

Nah, jadi Yesus tak perlu banget untuk membuat pengakuan langsung "Aku Allah, sembahlah Aku!" untuk membuktikan bahwa Dia adalah Allah, seperti yang dituntut oleh Zakir Naik. Identitas Yesus sebagai Allah bisa terbukti dari ciri-ciri-Nya (tindakan dan ucapan-Nya), sebagaimana Zakir Naik tidak perlu mengaku secara langsung "Aku manusia," untuk membuktikan bahwa ia adalah manusia. Karena dari ciri-cirinya, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa Zakir Naik itu memang manusia. 

Dari semua penjelasan di atas, saya harus menyimpulkan bahwa argumentasi Zakir Naik untuk menolak Yesus sebagai Allah tidak lebih dari sebuah argumen gembel yang tidak akan pernah dipuja dan dipercaya oleh manusia waras di bumi ciptaan Tuhan ini, kecuali oleh orang-orang yang IQ-nya minus 212.

Sebenarnya banyak argumen-argumen lain yang bisa digunakan untuk menghancurkan propaganda Zakir Naik. Tapi saya pikir, ini sudah lebih dari cukup. 

Yesus adalah Tuhan.

METODE PENYAMPAIAN KULIAH (YANG SAYA SUKA)

Oleh: Join Kristian Zendrato

Saya menemukan buku lama di kantor hari ini, sampulnya sudah lusuh. Setelah memutuskan untuk membacanya, saya menemukan sebuah kalimat singkat yang ingin saya bagikan di sini. Berikut kutipan dari kalimat itu:

"Pada umumnya kuliah yang diucapkan secara bebas lebih menarik daripada yang dibacakan." 

Itulah kutipan dari Prof. Dr. S. Nasution dalam bukunya: Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar dan Mengajar (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 128.

Mungkin kata "diucapkan" dalam kutipan di atas lebih eloknya diganti dengan kata "disampaikan." 

Oh yah, by the way, saya setuju banget dengan pendapat Prof. S. Nasution di atas. Dulu waktu kuliah, dan sekarang saya juga sering menonton kuliah-kuliah umum, saya merasakan bahwa lebih appeal (menarik) dan comfort (nyaman) melihat pembawa kuliah yang berbicara dengan bebas daripada yang terlalu fokus pada catatan atau bahan ajar kuliah. 

Kesannya, kalau pembawa kuliah berbicara dengan bebas tanpa terlalu bergantung pada bahan ajar adalah bahwa pembawa kuliahnya memang menguasai topik kuliahnya, dan itu keren.

Akhirnya, saya lebih bisa nangkep dan gak mudah lupa materi kuliah yang disampaikan dengan lebih bebas, daripada yang disampaikan dengan terlalu bergantung pada catatan atau bahan ajar. 

Itu sih gue yah, mungkin lo beda!

TULISAN SINGKAT BAGI KAMU YANG SEDANG MERAWAT ORANG YANG KAMU SAYANGI

Oleh: Join Kristian Zendrato

"Pantha rhei kai ouden menei," merupakan kalimat terkenal dari filsuf Yunani Heraklitus yang berarti "Segala sesuatu berubah, tidak ada yang tinggal tetap." Dalam teologi Kristen, satu-satunya yang tidak tercakup dalam perubahan adalah Allah. Semua yang lain mengalami perubuhan termasuk manusia. 

Mengalami sakit adalah contoh perubahan dalam hidup manusia. Ada saat di mana kita sehat. Ada saat di mana kita sakit. Kita ingin kita sembuh. Kita ingin orang yang kita sayangi sembuh. Kita menginginkan perubahan. 

Kita memang sedih jika kita sedang sakit atau melihat orang yang kita sayangi sakit. Tetapi, sebenarnya ini juga mengajarkan hal baik kepada kita. Kala kita sakit, kita diajarkan bahwa kita ini lemah sehingga tak boleh sombong tetapi rendah hati. Kala kita sakit, kita diajarkan untuk menggunakan waktu kita selama kita tidak sakit untuk berbuat baik, karena sekarang kita sadar, suatu saat kita tak bisa melakukan itu kalau kita sakit. Dan banyak kebaikan lain yang bisa kita pikirkan ketika kita sakit. 

Demikian juga kalau kita sedang merawat orang yang kita sayangi yang sedang sakit. Kita jelas sedih. Tapi lagi-lagi ini juga mengajarkan banyak hal yang baik bagi kita. Kala orang yang kita sayangi sakit, kita diberikan waktu untuk menunjukkan perhatian kita kepadanya yang mungkin selama ini kurang. Kala orang yang kita sayangi sakit, kita diberikan pesan betapa pentingnya kebersamaan dengannya kala ia masih sehat, sehingga setelah ia sembuh, kita akan menghargai indahnya kebersamaan dengannya. 

Dan banyak hal baik lainnya yang tidak bisa saya berikan contohnya di sini satu persatu. Tapi saya akan menceritakan sebuah kisah. 

Ada seorang kakak yang sedang menjaga adeknya yang sakit. Kakaknya ini bingung karena dia harus kerja di kantor. Tapi dia tidak mungkin meninggalkan adeknya. Singkatnya, dia gak masuk kantor. Dia memutuskan untuk menjaga adeknya yang sakit. Beberapa waktu kemudian, terdengar kabar bahwa kantornya terbakar. Dan seharusnya dia sudah di dalam kantor pada jam itu. Tetapi karena dia sedang menjaga adeknya, dia terhindar dari kecelakaan. 

Kisah itu menunjukkan bahwa bahkan dalam kesedihan kita, Tuhan masih tetap baik kepada kita. Saya tak mengatakan bahwa semua orang yang sedang menjaga orang sakit akan mengalami persis seperti itu. Tetapi intinya, kita sebenarnya tetap bisa mendapakan kebaikan dari kasus semacam itu. Walaupun kita tak pernah tau seutuhnya kebaikan macam apa itu. Kadang-kadang itu mengejutkan. 

Jadi untuk kamu yang sedang sakit, atau kamu yang sedang menjaga orang yang kamu sayangi yang sedang sakit, percayalah bahwa ada saja kebaikan yang bisa kita pelajari atau alami dari semua kondisi itu. 

Tetap tenang dan selalu jaga kesehatan. 

Jangan menyerah pada keadaan, sebab kita punya Yesus yang bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita (Roma 8:28). 

Charles Haddon Spurgeon, seorang pengkhotbah besar dari Inggris yang dijuluki sebagai Prince of Preaching pernah berkata, "No case is hopeless while Jesus Christ lives" (Tidak ada kasus yang tanpa harapan selama Yesus Kristus hidup). 

Ini tak berarti bahwa orang Kristen tak bisa mati. Tidak. Orang Kristen tetap mengingat ungkapan Latin, "Memento Mori" (Ingatlah, kita pasti akan mati). Tetapi bahkan kematian pun bagi orang Kristen bukan merupakan kasus yang tanpa harapan. Kenapa? Karena orang yang mati dalam Kristus akan masuk dalam kerajaan surga dan bukan dalam neraka (lihat Yoh. 3:16; Roma 8:1). 

Selamat pagi ♡

KEBANGKITAN YESUS & KEBERANIAN PARA MURID

Oleh: Join Kristian Zendrato

Salah satu bukti bahwa Yesus bangkit dari kematian adalah keberanian para murid untuk memberitakan Injil pasca kebangkitan. Mereka siap mati dan mempertaruhkan hidup mereka demi klaim itu. 

Jika seandainya mereka tahu bahwa Yesus tak pernah bangkit maka adalah kegilaan untuk mau menderita dan siap mempertaruhkan nyawa mereka untuk memberitakan kepada setiap orang bahwa Yesus bangkit. 

Mereka berani karena Yesus benar-benar bangkit secara fisik, dan telah menampakkan diri kepada mereka (1 Kor. 15:3-11), dan kubur Yesus kosong (mis. Luk. 24:2-3). 

Timothy Keller dalam bukunya Rasio Bagi Allah menulis, "Pascal berkata, 'Saya [percaya] kepada para saksi mata yang mengorbankan nyawa mereka.' Semua rasul dan para pemimpin Kristen mula-mula mati karena iman mereka, dan sulit untuk percaya bahwa pengorbanan seperti ini akan dilakukan untuk mendukung sebuah kebohongan" (Rasio Bagi Allah, hal. 232).

Selamat Paskah yo!


NOTITIA (FEAT PROF. LOUIS BERKHOF)

Oleh: Join Kristian Zendrato

Membaca kembali buku Profesor Louis Berkhof pagi ini menyadarkan saya betapa sembarangannya kita berbicara mengenai "iman." Berkhof menunjukkan bahwa dalam iman yang sejati harus ada elemen-elemen tertentu. Salah satunya adalah elemen notitia (elemen intelektual). Elemen notitia mengharuskan setiap orang yang mengaku beriman harus memiliki pengetahuan yang disebut Berkhof sebagai "positive recognition of the truth" (pengenalan yang positif terhadap kebenaran).
 
Malangnya, banyak orang merasa beriman tanpa mempunyai positive recognition of the truth" (pengenalan yang positif terhadap kebenaran). Mereka berkata percaya kepada Kristus, tetapi kalau kita mendesak dan meminta mereka menggambarkan Kristus yang bagaimana yang mereka percayai, maka kita akan segera mendapatkan gambaran-gambaran yang salah tentang Yesus.
 
Atau contoh lebih dekat adalah peristiwa Jumat Agung (Kematian Yesus). Sebentar lagi kita akan merayakannya. Tetapi ketika kita bertanya kepada kebanyakan orang Kristen tentang makna kematian Yesus, maka jawaban populer adalah untuk menebus dosa kita. Tetapi kalau kita bertanya lebih jauh, bagaimana kematian Yesus bisa menebus dosa, maka mungkin saja jawabannya akan salah, dan mungkin juga tak ada jawaban.
 
Demikian juga misalnya untuk masalah Paskah (Kebangkitan Yesus). Orang-orang akan mengingat bahwa mereka telah atau akan ikut dalam pencarian telur Paskah. Tetapi para pencari telur ini, sama sekali tidak tahu apakah Yesus benar-benar bangkit dari kubur, dan apa makna dari kebangkitan-Nya. Sehingga jika ada orang yang menyerang doktrin kebangkitan Yesus, maka semuanya bungkam. Dan banyak contoh-contoh lain.
 
Anehnya orang seperti itu banyak dan mengaku diri punya "iman." Mereka lupa bahwa iman yang sejati harus mempunyai elemen-elemen tertentu di dalamnya, salah satunya adalah elemen notitia.
Ini terjadi karena dua kemungkinan: Pertama, pengajarnya yang salah karena tidak belajar, sehingga mengajar sembarangan. Kedua, pendengarnya yang tidak mau diajar atau belajar.

Nasihat Profesor Louis Berkhof penting untuk diperhatikan sebagai penutup. Ia berkata, "Yang paling penting, terutama pada zaman sekarang, bahwa gereja harus melihat bahwa anggotanya mempunyai pengetahuan tentang kebenaran dengan tepat dan bukan dengan sembarangan" (lihat Louis Berkhof, Teologi Sistematika 4: Doktrin Keselamatan, hal. 201-204).

JIKA, JIKA, DAN JIKA VS. BERSYUKUR

Oleh: Join Kristian Zendrato

Hidup yang kita hidupi saat ini adalah fakta yang harus kita hadapi – entah kita suka atau tidak. Fakta hidup tak selalu seindah yang kita pikirkan, bahkan mungkin justru berbanding sangat terbalik dengan alam pikiran kita. Kita kadang frustasi melihat cita-cita dan mimpi-mimpi kita tergantung nun jauh di negeri ilusi yang tak pernah eksis. 

Karena banyak harapan-harapan kita yang tetap tinggal mimpi, maka tak salah jika William Shakespeare berkata, “Expectations is the root of all heartache” (Pengharapan adalah akar dari semua sakit hati). Harapan-harapan yang tak pernah kunjung terwujud memang adalah sumber segala sakit hati kita. Kita menginginkan persahabatan yang baik, tetapi fakta membubarkan hal itu – sahabat kita justru menyakiti kita, dan kita sakit hati. Kita menginginkan hubungan kita dengan seseorang langgeng terus, tetapi fakta sering membubarkan impian itu – dia justru selingkuh. Dan lagi-lagi kita sakit hati. Kita menginginkan hari yang menyenangkan, tetapi yang datang justru kecelakaan. Dan lagi-lagi kita sakit hati. Shakespeare memang benar bahwa harapan yang tak terwujud adalah akar dari segala sakit hati. 

Ketika hal-hal yang tak kita inginkan itu yang justru datang dalam hidup kita, maka biasanya kita berhalusinasi untuk menghidupi kehidupan lain. Kita memulai berpikir dan berkata: jika aku lebih kaya maka seharusnya sahabatku tak akan pergi. Jika aku lebih cantik, maka pasanganku tak akan selingkuh. Jika aku punya mobil, maka kecelakaan hari ini tak akan terjadi. Pikiran kita dipenuhi dengan “jika, jika, dan jika.” Itulah yang sering kita lakukan saat kita berada dalam kesulitan hidup. 

Jadi, harapan yang tak terwujud menimbulkan sakit hati, dan sakit hati menimbulkan kata, “jika, jika, dan jika.” 

Waktu pikiran kita dipenuhi dengan konsep “jika, jika, dan jika,” maka sebenarnya kita sedang membenci kehidupan riil kita, dan lebih menginginkan kehidupan yang lain, yang tak pernah eksis. Malang memang, kita justru menambah penderitaan kita dengan memikirkan kehidupan lain yang nyatanya tak pernah eksis dalam dunia riil. Bukankah itu menggelikan? Kita jarang menyadari bahwa ini menggelikan karena sudah take for granted. 

Kontras dengan konsep “jika, jika, dan jika,” adalah tindakan bersyukur. Konsep “jika, jika, dan jika,” membuat kita tak menghargai hidup, menyesali hidup, dan sebagainya. Tetapi tindakan bersyukur sebaliknya, membuat kita menghargai hidup, dan tak menyesali hidup. 

Sebagai orang percaya, seharusnya kita meninggalkan konsep “jika” ketika kita menghadapi masalah atau penderitaan. Konsep yang harus kita tunjukkan seharusnya adalah bersyukur. Bersyukur menunjukkan bahwa kita menghargai pemberian Allah bagi kita. Bersyukur menunjukkan bahwa kita mengamini kebijaksanaan Allah dalam mengatur hidup kita. Bersyukur berarti mengamini bahwa bahkan dari penderitaan yang buruk sekalipun, Allah akan mendatangkan kebaikan yang tak pernah kita pikirkan sebelumnya. 

Itulah sebabnya, Rasul Paulus dalam Roma 8:28 menyatakan dengan tenang, “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.”

Paulus mengerti bahwa bahkan dalam penderitaan pun kita patut bersyukur, bukan berkonsep “jika, jika, dan jika,” karena bagi Paulus Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi orang percaya, termasuk dalam harapan-harapan mereka yang tak terwujud.

COBALAH DENGARKAN SEBAB KITA INI TERBATAS

Oleh: Join Kristian Zendrato

Dalam teologi Kristen, manusia dianggap sebagai ciptaan Allah yang finit (terbatas). Implikasi dari konsep ini jelas banyak. Misalnya, karena kita terbatas, maka kita tidak bisa mengenal Allah sepenuhnya, atau dalam kata-kata Profesor Louis Berkhof, "Finitum non possit capere infinitum." 

Implikasi lainnya dari status kita sebagai ciptaan yang finit juga menyangkut kehidupan kita. Dalam menjalani hidup, kita tetap terbatas. Kita tak bisa terbang. Tak bisa hidup tanpa udara, dsb. Kita bersifat dependen terhadap Allah.

Namun salah satu yang mau saya tekankan adalah keterbatasan kita dalam menangkap dan memahami seluruh peristiwa yang terjadi. Itu jelas pernah dan akan selalu kita alami. Ini kita alami karena kita tidak mahatahu.

Apesnya, keterbatasan kita dalam menangkap dan memahami seluruh peristiwa yang terjadi seringkali memimpin kita pada kesalahpahaman (misunderstanding). 

Misalnya, kalau kita melihat orang yang lewat di depan kita, dan orang itu terkesan buang muka, maka kemungkinan besar mayoritas dari kita akan menganggap itu sombong. 

Anggapan kita itu bisa benar, bisa tidak. Anehnya, kita selalu berpikir anggapan kita benar. Padahal kemungkinan yang lain masih ada. Bisa saja orang itu sebenarnya tidak sombong, hanya saja dia orangnya pemalu, atau dia lagi buru-buru. 

Saya sering melihat banyak orang terus menerus ngotot tinggal dalam kesalahpahaman tentang orang lain. Bahkan ketika orang lain berusaha menjelaskan posisinya, kita sering mengakhiri penjelasannya dengan berkata, "Ah, sudahlah" - tanpa pernah berpikir secara rasional tentang alasan-alasannya bertindak seperti itu. 

Ada juga yang sedang salah paham kepada orang lain dan bersikap tak mau mendengarkan penjelasan dari orang lain itu. Mungkin orang itu mau menjelaskan maksud dari tindakannya bahwa apa yang terjadi tak seperti dugaan kita, tetapi kita terlebih dahulu sudah menutup telinga. Dan banyak kasus berujung buruk gara-gara tak mau mendengar penjelasan orang lain ini.

Bukankah di antara kita begitu banyak orang dengan sikap seperti itu? 

Kita kadang lupa bahwa kita ini terbatas. Kita lupa bahwa kita ini makhluk yang finit, yang pemahamannya akan sebuah peristiwa tidak komprehensif. Kita lupa bahwa mata kita tak selalu bisa melihat segala sesuatu dengan utuh. Kita lupa kalau kita butuh penjelasan. Kita menghindari penjelasan dan ngotot pada apa yang kita lihat. Padahal banyak hal yang kita salah pahami. Banyak fakta sebenarnya tak selalu seperti yang kita lihat.

Maksud saya begini: kadang memang, kita bisa menilai sesuatu atau seseorang berdasarkan apa yang terlihat di mata kita. Tetapi itu tak selalu benar. Karena pasti ada kasus di mana kita mungkin salah menilai. Ingatlah pepatah, "Don't judge a book by its cover."

Dalam hal ini perbanyaklah mendengar penjelasan orang lain tentang tindakannya yang mungkin anda salah pahami. Kita kadang menganggap diri lebih paham orang lain lebih dari orang itu sendiri. Dan itu tidak selalu benar. Ingat kita ini terbatas, tak mahatahu.

Berusahalah untuk mau mendengar.

BERIKANLAH SEDIKIT APRESIASI

Oleh: Join Kristian Zendrato

Kita – manusia diberikan kadar keberanian yang berbeda-beda oleh Sang Allah Tritunggal. Ada yang terlihat sangat berani, agak berani, kurang berani. Anda bahkan bisa menemukan orang-orang yang untuk berbicara kepada orang lain saja harus mengeluarkan semua keberaniannya untuk melakukan itu. Baginya, memulai pembicaraan kepada orang lain itu tidak mudah.

Ekspresi-ekspresi mengenai tingkat keberanian terlihat dalam berbagai tingkah laku kita. Maka bayangkanlah jika ada orang yang berniat baik melakukan sesuatu kepada Anda, dan dia melakukan itu dengan segenap keberaniannya kepada Anda. Sebenarnya dia tidak biasa melakukan hal itu, tapi mungkin karena baginya Anda adalah The Special One, maka ia berani melakukannya.

Jangan berpikir bahwa keberanian itu hanya dibuktikan dengan tindakan yang membahana dan spektakuler seperti meloncat dari gedung pencakar langit, melawan hiu, menguras samudera Pasifik, atau menghentikan gemuruh Niagara. Semua itu memang tindakan berani, tetapi bahkan dalam tindakan-tindakan remeh sekalipun, mungkin saja itu dilakukan seseorang dengan anggapan bahwa itu adalah tindakannya yang sangat berani atau bahkan paling berani.

Misalnya jika Anda dichat, ditelpon, diperhatikan, disapa, dilihat, dimintai maaf, ditulisi sesuatu, dimintai sesuatu yang remeh oleh seseorang, maka ingatlah selalu bahwa ketika seseorang melakukan itu kepada Anda, mungkin saja dia melakukannya dengan anggapan bahwa itu adalah tindakannya yang sangat berani atau paling berani. Itu adalah perjuangan baginya. Atau bahkan mungkin itu adalah ekspresi kebahagiannya karena Anda. Walaupun bagi Anda sendiri itu adalah hal-hal biasa, yang take for granted.


Maksud saya adalah berikanlah sedikit apresiasi bagi orang-orang seperti itu. Saya tak mengatakan bahwa semua orang begitu. Tak seadanya orang juga harus kita apresiasi. Tapi setidaknya, ini bisa menjadi semacam warning bagi kita dalam menjalani hidup di bumi ini dengan sesama kita.

MENGGELIKANNYA MENJAWAB PERTANYAAN "APA KABAR?" DENGAN KATA-KATA "LUAR BIASA"

Oleh: Join Kristian Zendrato

Entah berapa kali saya mendengar banyak orang, entah di kampus, di Gereja, dan tempat lainnya sering menjawab "luar biasa" saat mereka ditanya "apa kabar?"

Sepintas lalu, jawaban "luar biasa" itu terkesan menunjukkan tingkat kerohanian yang tinggi. Tetapi setelah memikirkan lebih dalam, saya mendapati bahwa jawaban "luar biasa" itu agaknya menggelikan.

Pernahkah anda berpikir apa arti dari "luar biasa" itu? Bagi saya sendiri "luar biasa" (extraordinary) berarti aneh, tidak beroperasi seperti biasanya, atau berjalan secara berbeda bahkan menyimpang dengan tatanan yang ada.

Untuk menjelaskan maksud saya maka saya akan memberikan contoh.

Di bumi ini, jika kita melempar batu ke atas, maka batu itu akan kembali ke bawah. Nah, peristiwa itu disebut "biasa." Tetapi seandainya seseorang melempar batu ke atas, dan batu itu tidak pernah kembali ke bawah (kecuali nyangkut yah, itu ceritanya beda), atau batunya terus ke atas menembus langit, maka itu di sebut "luar biasa." Kenapa disebut "luar biasa"? Karena peristiwa itu berjalan atau beroperasi secara berbeda dengan tatanan yang ada. Peristiwa itu aneh.

Atau contoh lain, misalnya kalau kita melihat seseorang yang sedang mengeluarkan air mata, kita akan memaklumi hal itu, karena itu hal "biasa." Dia mungkin sedang sedih atau bahagia. Tapi coba bayangkan kalau kita melihat seseorang terus menerus mengeluarkan air mata tanpa pernah berhenti. Peristiwa itu jelas "tidak biasa." Itu peristiwa "luar biasa." itu aneh.

Atau contoh lain. Manusia normal, paru-parunya ada di dalam, dan tak kelihatan dari luar. Kita menyebut itu "biasa." Sekarang coba bayangkan kalau anda melihat seseorang yang paru-parunya berada di luar berjalan ke sana ke mari dan menyapa anda? Itu jelas aneh, tidak biasa. Nah, justru hal yang tak normal itulah yang "luar biasa."

Dari defenisi mengenai "luar biasa" dan contoh-contoh di atas, menurut saya adalah menggelikan untuk terus menerus menjawab pertanyaan "apa kabar?" dengan kata-kata "luar biasa."

Sebab waktu Anda mengatakan "luar biasa" itu artinya anda sedang mengakui bahwa anda sedang hidup aneh, dan berbeda dengan tatanan yang ada. Padahal kalau kita lihat keadaan Anda, Anda terlihat biasa-biasa saja. Paru-parunya masih di dalam. Lalu apa yang luar biasa? Apa karena anda lagi bahagia? Hah, bahagia itu "biasa" juga kok. Sedih juga "biasa." Dua-duanya biasa. Justru yang "luar biasa" adalah jika anda tak pernah bahagia atau sedih.

Luar biasa itu hanya cocok untuk Allah. Hanya Allah yang luar biasa. Itu dikarenakan Dia sepenuhnya berbeda dengan kita yang biasa, atau dalam kata-kata Karl Barth, Dia adalah "The Wholly Other."

Jadi menurut saya kalau kita ditanya "apa kabar" maka jawablah dengan sederhana: "seperti biasa, baik."

Kita memang biasa, dan biasa itu indah. Biasa itu normal.

JIKA ITU "KAIROS"KU BAGAIMANA?

Oleh: Join Kristian Zendrato

Dalam bahasa Yunani ada dua kata yang bisa diterjemahkan waktu, yakni kronos dan kairos. Kronos adalah waktu yang terus menerus berlanjut dan tetap ada. Dari sinilah kita mendapat istilah kronologi. Sedangkan kairos adalah momen tertentu yang terjadi suatu waktu ditengah-tengah waktu yang terus berlanjut. Kalau kronos selalu ada, kairos itu kadang-kadang ada. Oleh karena itu kairos sering diterjemahkan sebagai kesempatan.

Masing-masing kita mempunyai kairos atau kesempatan-kesempatan tertentu sepanjang kehidupan kita. Kairos kita bentuknya macam-macam, misalnya: pertemuan dengan seseorang, permintaan maaf, lowongan kerja, pelayanan, dan sebagainya.

Anda kadang tidak akan mendapatkan kairos dua kali. Jadi, ada hal-hal tertentu di mana kita tidak bisa tidak harus mengambil keputusan pada detik itu, karena bisa saja kairos hari ini tidak akan pernah muncul besok.

Untuk itu jangan terlalu cepat untuk menyalahkan seseorang jika ada keputusan-keputusan yang diambilnya bahkan dalam waktu cepat dan beresiko. Mungkin saja dia sedang mendapatkan kairos yang esok belum tentu ada. Itulah kenapa Heraklitus pernah berkata, “You cannot step twice to the river, for the fresh waters are ever flowing upon you” (artinya: kamu tidak akan dapat terjun pada sungai yang sama untuk ke dua kalinya karena air sungai itu telah mengalir). 

Sampai di sini paham yah?

KOMENTAR SINGKAT TENTANG SPIRITUALITAS ALA DANIEL MANANTA

Oleh: Join Kristian Zendrato Siapa yang tidak mengenal Daniel Mananta, pembawa acara terkenal Indonesian Idol. Daniel telah membuat channel ...