Oleh: Join Kristian Zendrato
Hidup yang kita hidupi saat ini adalah fakta yang harus kita hadapi – entah kita suka atau tidak. Fakta hidup tak selalu seindah yang kita pikirkan, bahkan mungkin justru berbanding sangat terbalik dengan alam pikiran kita. Kita kadang frustasi melihat cita-cita dan mimpi-mimpi kita tergantung nun jauh di negeri ilusi yang tak pernah eksis.
Karena banyak harapan-harapan kita yang tetap tinggal mimpi, maka tak salah jika William Shakespeare berkata, “Expectations is the root of all heartache” (Pengharapan adalah akar dari semua sakit hati). Harapan-harapan yang tak pernah kunjung terwujud memang adalah sumber segala sakit hati kita. Kita menginginkan persahabatan yang baik, tetapi fakta membubarkan hal itu – sahabat kita justru menyakiti kita, dan kita sakit hati. Kita menginginkan hubungan kita dengan seseorang langgeng terus, tetapi fakta sering membubarkan impian itu – dia justru selingkuh. Dan lagi-lagi kita sakit hati. Kita menginginkan hari yang menyenangkan, tetapi yang datang justru kecelakaan. Dan lagi-lagi kita sakit hati. Shakespeare memang benar bahwa harapan yang tak terwujud adalah akar dari segala sakit hati.
Ketika hal-hal yang tak kita inginkan itu yang justru datang dalam hidup kita, maka biasanya kita berhalusinasi untuk menghidupi kehidupan lain. Kita memulai berpikir dan berkata: jika aku lebih kaya maka seharusnya sahabatku tak akan pergi. Jika aku lebih cantik, maka pasanganku tak akan selingkuh. Jika aku punya mobil, maka kecelakaan hari ini tak akan terjadi. Pikiran kita dipenuhi dengan “jika, jika, dan jika.” Itulah yang sering kita lakukan saat kita berada dalam kesulitan hidup.
Jadi, harapan yang tak terwujud menimbulkan sakit hati, dan sakit hati menimbulkan kata, “jika, jika, dan jika.”
Waktu pikiran kita dipenuhi dengan konsep “jika, jika, dan jika,” maka sebenarnya kita sedang membenci kehidupan riil kita, dan lebih menginginkan kehidupan yang lain, yang tak pernah eksis. Malang memang, kita justru menambah penderitaan kita dengan memikirkan kehidupan lain yang nyatanya tak pernah eksis dalam dunia riil. Bukankah itu menggelikan? Kita jarang menyadari bahwa ini menggelikan karena sudah take for granted.
Kontras dengan konsep “jika, jika, dan jika,” adalah tindakan bersyukur. Konsep “jika, jika, dan jika,” membuat kita tak menghargai hidup, menyesali hidup, dan sebagainya. Tetapi tindakan bersyukur sebaliknya, membuat kita menghargai hidup, dan tak menyesali hidup.
Sebagai orang percaya, seharusnya kita meninggalkan konsep “jika” ketika kita menghadapi masalah atau penderitaan. Konsep yang harus kita tunjukkan seharusnya adalah bersyukur. Bersyukur menunjukkan bahwa kita menghargai pemberian Allah bagi kita. Bersyukur menunjukkan bahwa kita mengamini kebijaksanaan Allah dalam mengatur hidup kita. Bersyukur berarti mengamini bahwa bahkan dari penderitaan yang buruk sekalipun, Allah akan mendatangkan kebaikan yang tak pernah kita pikirkan sebelumnya.
Itulah sebabnya, Rasul Paulus dalam Roma 8:28 menyatakan dengan tenang, “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.”
Paulus mengerti bahwa bahkan dalam penderitaan pun kita patut bersyukur, bukan berkonsep “jika, jika, dan jika,” karena bagi Paulus Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi orang percaya, termasuk dalam harapan-harapan mereka yang tak terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar